TanyaJawab bersama Arief Balla: Dari Desa, Kuliah di AS dan Menulis Buku

Arief Balla sewaktu studi di AS. (Arief).

BININTA.com – TanyaJawab BININTA kali ini adalah bersama dengan Arief Balla, putra asli Sulawesi Selatan, yang berhasil mendapatkan Beasiswa Fulbright AMINEF dan kuliah di Amerika Serikat. 
Sejak menjadi mahasiswa di UIN Alaudin Makassar, Arif telah aktif menulis di beberapa surat kabar di Makassar, dan mengikuti kegiatan internasional, sampai akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studinya di AS dengan dukungan Beasiswa Fulbright. 
Arief kini mengajar di Institut Parahikma Makassar dan juga aktif  menulis di beberapa media online, seperti Tribun News, Locita.co, Tirto.id, Mojok.co, Lontar.id dan lain-lain. 
Ia juga menulis beberapa buku. Salah satu bukunya adalah Kepada Jauh yang Dekat. 

BININTA.com memberikan 5 pertanyaan kepada Arief seputar pengalamannya sebagai anak dari desa sampai mendapatkan Beasiswa Fulbright dan kuliah di AS, juga tentang buku barunya.  
Simak wawancara kami dengan Arief berikut ini.

Anda berasal dari salah satu Desa di Sulawesi Selatan. Dengan latar belakang dari desa, terkadang banyak anak-anak muda yang minder dan tidak percaya diri, Apakah anda pernah punya pengalaman yang sama? Bagaimana anda sampai terus termotivasi mengejar cita-cita?

Tentu. Saya pernah berada pada posisi itu dan sesekali saya masih merasakannya. Semua itu adalah konsekuensi logis dari kekurangan dari tiga hal: akses, modal sosial dan supporting system.  Ketiga hal ini saling mengkait dan seringkali membuat saya pesimis. 

Kurang akses informasi, dari keluarga yang kurang berpendidikan sehingga terseok-seok dalam hal modal sosial dan supporing system. 
Akibatnya adalah cara berpikir tradisional. Sudut pandang dari lingkungan saya.

Titik balik hidup saya adalah saat merantau ketika baru saja naik kelas empat SD. Keputusan ini menjadi pondasi yang penting dalam perjalanan hidup saya selanjutnya. 

Dari sana memiliki akses pada bacaan dan orang-orang yang di kemudian hari berpikir modern dan progresif. Tanpa cara berpikir ini kemajuan diri akan sulit dicapai.

Ada hari-hari ketika saya merasa kesepian dan kehilangan harapan. Saya tahu itu salah tapi saya tidak punya pilhan lain selain menikmatinya saja. Saya mengizinkan diri saya untuk meyembuhkan diri.

Saya melatih diri saya untuk memiliki ‘personal responsibility’, semata-mata agar saya tidak larut di tengah lingkungan yang seringkali tidak mendukung bahkan cenderung menghalangi.

Anda adalah salah satu penerima beasiswa Fulbright dari AMINEF. Untuk mendapatkan beasiswa ini pastinya tidak mudah. Dari pengalaman anda, ada tips khusus agar bisa diterima dalam program beasiswa ini?

Tips ini bisa jadi subjektif. Sederhana saja sebenarnya. Anda perlu memenuhi semua syarat dan melengkapi semua berkas. Sebab jika ada yang kurang pasti akan otomatis ditolak. 

Perkuat di esai dan Curriculum Vitae (CV). Selalu ‘double check’ sebelum mengirim aplikasi anda. 

Anda kuliah di kampus mana di AS? Bagaimana pengalaman pertama kali kuliah di salah satu kampus disana?

Southern Illinois University Carbondale di Illinois, mengambil double major: TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages) dan Linguistics.

Saya sempat memiliki kekhawatiran jika tidak bisa mengikuti perkuliahan. Kuliah di ‘Amrik’ itu menantang dan butuh waktu untuk adaptasi. 

Saya perlu beradaptasi dengan kehidupan akademik, sosial dan budaya. 
Ada banyak hal menarik yang saya temui dan justru saya pikir ada nilai-nilai yang kita anut tetapi justru dipraktekkan di sana.

Selain sebagai dosen di Institut Parahikma dan juga sebagai kolumnis di beberapa media massa, anda juga adalah seorang penulis buku. 

Buku ‘Kepada Jauh yang Dekat’ adalah salah satu buku yang sangat cocok dibaca anak-anak muda karena melukiskan pengalaman anda saat merantau. Bisa sedikit ceritakan tentang buku ini? 

Buku ini adalah upaya merekonstruksi diri saya dalam pemikiran-pemikiran. Sebuah upaya mempertanyakan ulang nilai-nilai hidup yang saya yakini.

Buku ini adalah sebuah upaya untuk sembuh, menyembuhkan diri dari trauma-trauma psikologis sebagi akibat dari merantau. 

Orang-orang hanya melihat saya dari luar tetapi sejujurnya ada pertarungan hebat dalam diri saya, pertarungan yang sewaktu-waktu bisa membunuh saya.

Lebih jauh, buku ini adalah kritik sosial. Ada nilai-nilai yang universal yang tidak dibatasi oleh teritorial negara, agama, suku, dan etnis. 

Saya berusaha lepas dari pandangan-pandangan yang sempit dan memilih melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Saya pikir saya memiliki pikiran-pikiran sendiri yang tidak harus selalu setuju dan tunduk pada pendapat-pendapat umum.

Apa pesan khusus untuk Anak-anak Muda di Perbatasan utara Indonesia?

Hidup tidak selalu mudah tetapi akan selalu ada jalan untuk mereka yang menolak menyerah. 

(AR)

Pos terkait