Selamat Tinggal Tahun Miskomunikasi, Selamat Datang Tahun Resiliensi

Tahun Resiliensi
Ilustrasi. 

Di meja sebuah angkringan khas Kota Solo, terdengar seorang paruh baya berujar kepada dua temannya, “Tahun 2020 cuma ada 4 bulan, Januari, Februari, Corona, dan Desember.” Satu temannya yang memakai masker langsung tertawa. Tapi satu teman lain yang tanpa masker, tampak ingin tersenyum kemudian terlihat termenung. 

Meski tahun 2020 terasa mengalun pelan karena pandemi COVID-19 berdampak ke segala bidang kehidupan. Namun tanpa terasa, bulan Desember tiba dan tahun 2020 telah berakhir. 

Terdapat dua temuan kunci Kompas Gramedia Media Research dalam mengidentifikasi situasi tahun 2020 terkait pandemi Covid-19. 
Hasil riset mereka menunjukan, pertama, Indonesia tak acuh sebelum ada kasus positif Covid-19 di dalam negeri, atau tepatnya sebelum 2 Maret 2020 ketika kasus pertama diumumkan. Kedua, reaksi dan respon masyarakat terpecah karena kebingungan terbanjiri informasi, dimana media sosial memperparah situasi. Masyarakat saat itu bingung antara informasi, misinformasi, disinformasi, dan bahkan mungkin miskomunikasi. 
Misinformasi adalah informasi atau berita palsu yang beredar, namun orang yang berbagi tidak menyadarinya bahwa itu salah atau menyesatkan, disinformasi adalah penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain, sedangkan miskomunikasi adalah kegagalan untuk menyampaikan pesan atau kurangnya komunikasi yang jelas. Miskomunikasi biasanya terjadi jika terdapat ketimpangan antara maksud pembicaraan dan pemahaman. 
Jika saja ada penghargaan Miskomunikasi of The Year 2020, mungkin juri penghargaan ini akan kebingungan memilih pemenangnya. Terlalu banyak pejabat publik melakukan misinformasi yang berujung miskomunikasi di tahun krisis ini. 
Pada tanggal 6 April 2020, LP3ES merilis temuannya terkait blunder komunikasi Kabinet Jokowi di era pandemi. Penelitian dari LP3ES tersebut menyatakan, kurang dari 100 hari sejak wabah Covid-19 menjadi isu dan ancaman di Indonesia, telah ada 37 pernyataan blunder yang dikeluarkan oleh Jokowi dan kabinetnya dalam penanganan Covid-19 yang terdiri dari; 13 pernyataan blunder di masa pra krisis, 4 pernyataan blunder di awal krisis, dan 20 pernyataan blunder di masa krisis. 
Berdasarkan penelitian tersebut, dalam rentang waktu akhir Januari hingga 5 April 2020, ada 13 statement blunder pemerintah dalam wujud penolakan kemungkinan corona yang dinyatakan oleh 10 pejabat, mulai dari presiden, wakil presiden, menteri kesehatan, menko maritim, menko polhukam, menko perekonimian, menhub, kepala BNPB, menteri pariwisata hingga dirjen perhubungan. Beberapa pernyataan tersebut bahkan disampaikan sambil berkelakar. 
Begitu banyaknya yang berkomunikasi, sehingga menimbulkan kegaduhan dan kebingungan publik. Tidak ada komunikasi kepada publik untuk menyiapkan diri terhadap krisis, pemerintah sendiri sudah denial terhadap potensi krisis Covid-19. 
Pada 15 Februari, Menteri Kesehatan saat itu Terawan Agus Putranto menyampaikan pernyataan kontroversial saat menanggapi melambungnya harga masker. Terawan justru menyalahkan orang-orang yang membeli masker. “Salahmu sendiri kok beli ya,” kata Terawan. Terawan menilai orang yang sehat tidak perlu menggunakan masker. Seharusnya, kata Terawan, masker hanya digunakan oleh orang yang sakit agar tak menularkan penyakitnya ke lingkungan sekitar. 
Coombs dalam buku Exploring Public Relations Global Strategic Communication, mendefinisikan krisis sebagai persepsi tentang peristiwa yang tidak dapat diprediksi, mengancam pemangku kepentingan, terkait dengan masalah kesehatan, keselamatan, lingkungan juga ekonomi, dan secara serius dapat berdampak pada kinerja institusi. Tiga ancaman yang ditimbulkan adalah keselamatan publik, kerugian finansial, dan kehilangan reputasi. 
Manajemen Komunikasi Krisis adalah kumpulan faktor yang digunakan untuk mengatasi krisis untuk mengurangi kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh krisis terhadap institusi atau negara beserta pemangku kepentingannya. 
Dari perspektif kehumasan, penting untuk menyadari bahwa krisis menciptakan kekosongan informasi. Sesuatu yang negatif telah terjadi, berpotensi mengancam institusi dan pemangku kepentingannya. Kunci dari Manajemen Komunikasi Krisis yang efektif adalah menemukan informasi yang diinginkan dan menyampaikannya kepada pemangku kepentingan. Manajemen komunikasi krisis yang efektif dibangun di atas fondasi persiapan yang diinformasikan oleh data-data yang akurat. 
Tentunya bukan hanya menteri, pejabat publik lainnya baik itu gubernur atau wali kota secara tidak langsung adalah seorang “public relation” bagi institusinya. Apalagi di masa krisis seperti ini, seluruh perkataan mereka ke publik atau media massa adalah aktivitas kehumasan yang memberikan informasi penting dan berdampak kepada publik. 
Maka dari itu, penting bagi pejabat publik untuk menguasai strategi komunikasi & kehumasan agar bisa menghindari ketidakakuratan informasi yang kemudian berakhir dengan meralat statement mereka sendiri. 
Seorang pejabat publik harus memiliki konsep matang dengan mengelaborasi seluruh data dan fakta menjadi sebuah pesan informasi yang dapat disampaikan ke masyarakat. Peran pejabat publik dalam menyampaikan pesan informasi yang baik dan tepat akan menjaga dan membangun reputasi serta menciptakan rasa aman bagi publik. 
Berbagai studi telah menunjukkan, kualitas komunikasi merupakan salah satu faktor penting bagi terbangunnya kepercayaan. Dalam masa krisis, komunikasi yang berkualitas berperan penting bagi terbangunnya kepercayaan diri publik untuk menghadapi krisis, meredam kepanikan, meminimalisir rumor dan membantu publik menyiapkan diri menghadapi krisis. 
Salah satu model yang dapat digunakan untuk melakukan komunikasi efektif pada masa krisis adalah Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) yang digagas oleh Barbara Reynolds dan Matthew W Seeger (2005). Adapun langkah komunikasi itu terdiri dari 5 tahapan. 
Pertama, pre-crisis. Sebelum krisis, komunikasi krisis mesti diarahkan pada upaya-upaya untuk menyiapkan publik mengenai apa yang akan terjadi atau dengan kata lain melakukan upaya mitigasi, bukan dengan denial terhadap potensi krisis. 
Kedua, initial event. Di awal krisis, komunikasi krisis sudah siap dengan situasi yang berubah dengan cepat. Early crisis communication yang direkomendasikan contohnya, berbicara dengan satu pesan yang konsisten, merespon secara cepat namun tetap akurat, dan bersikap terbuka. hal yang tidak direkomendasikan adalah berspekulasi tentang penyebab krisis dan mengatakan “no comment”. Informasi-informasi yang disampaikan harus relevan, tidak membesar-besarkan dan tidak juga meremehkan. Dengan begitu publik bisa memasuki masa krisis dengan berpegang pada informasi yang akurat. 
Ketiga, maintenance. Selama krisis berlangsung, komunikasi krisis diarahkan pada mode krisis, mengidentifikasi kondisi yang sedang terjadi saat ini dan mulai memikirkan strategi alternatif mengenai banyak hal. 
Keempat, resolution. Resolusi ini pada dasarnya merujuk pada proses komunikasi krisis yang mesti dilakukan, ketika krisis bisa diprediksi kapan akan berakhir. Dan yang terakhir adalah evaluation.
Agaknya kita masih harus bersabar menunggu kapan kita masuk tahapan resolution. Prediksi-prediksi tentang efektivitas vaksin Covid-19 masih membingungkan publik saat ini. Sabar dan resiliensi mungkin bisa menjadi modal kekuatan untuk menyambut tahun 2021. 
Resiliensi sering didefiniskan sebagai kemampuan adaptasi, koping, menghadapi kesulitan dan bangkit kembali dari situasi yang sulit. Al Siebert mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk bangkit kembali dari keterpurukan yang terjadi. 
Awalnya mungkin ada tekanan yang mengganggu. Namun orang-orang dengan resiliensi yang tinggi akan mudah untuk kembali ke keadaan normal bahkan ke situasi new normal.
Penulis
Yudi Sastroredjo 
Mahasiswa Magister Manajemen Komunikasi UNS Solo. 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *