Usia 17 tahun ini ibaratnya masa akil balig di mana seseorang akan beralih dari masa remaja ke masa dewasa. Bisa dikatakan sebagai masa peralihan untuk seseorang menerima tanggung jawab yang lebih besar untuk menjadi sosok yang dewasa.
Dalam konteks politik kekinian, Repdem diharapkan menjadi wadah yang semakin matang untuk mengayomi kaum muda dan aktivis untuk konsisten dan progresif bergerak memperjuangkan beragam aspek kepentingan rakyat. Berbeda dengan iklim politik nasional 17 tahun lalu, saat ini Repdem hadir di tengah iklim politik kekinian yang memiliki tiga realitas situasi, yaitu situasi modernisasi, digitalisasi dan globalisasi.
Tiga realitas situasi tersebut harus menjadi energi pendorong bagi setiap kader Repdem di pusat dan daerah untuk benar-benar bisa berperan maksimal membumikan Pancasila dalam setiap gerak juang bersama rakyat.
Situasi Modernisasi
Modernisasi telah memicu laju inovasi yang sangat pesat dalam teknologi digital dan informasi, sehingga loncatan perubahan modernisasi hari ini sangat besar mengubah beragam tradisi social masyarakat yang sebelumnya ‘manual’ menjadi ‘digital’.
Masyarakat kian dimanjakan dengan beragam gadget dan perangkat teknologi yang ‘eassy access’ dan ‘quick response’ dan bisa mengakses fasilitas transaksi secara nirkabel di mana pun dan kapan pun. Efek domino dari modernisasi adalah merebaknya eforia hedonisme dan materialisme di berbagai lingkungan sosial masyarakat. Hal ini akan memicu kian suburnya individualisme dan kanibalisme sosial yang tentunya berpotensi mengoyak jalinan solidaritas kebangsaan.
Situasi ini menjadi tantangan bagi setiap kader Repdem untuk menjadi garda terdepan mengawal empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Semangat Pancasilais yang tidak bisa tidak di anggap usang hanya karena trend modernisasi.
Sebaliknya, setiap kader Repdem harus secara cerdas dan konsisten mampu mengkontekstualisasi semangat Pancasilais dalam setiap perjuangan politik untuk kepentingan rakyat banyak. Eforia hedonisme dan materialisme dalam era modernisasi tidak boleh membuat setiap kader Repdem kehilangan sensitifitas dan konsistensi perjuangan ideologis. Dan pada akhirnya terlena dengan gelimang modernisasi dan membelakangi bahkan mengkhianati amanah perjuangan rakyat.
Situasi Digitalisasi
Digitalisasi sistem perangkat komunikasi publik melalui merebaknya beragam instrumen media sosial telah membuat sekat pembatas antar masyarakat berinteraksi lenyap. 60% lebih dari 260 juta penduduk Indonesia telah terhubung dengan internet, melalui jejaring internet membuat sekat jarak dan ruang tidak bisa lagi membatasi berbagai arus informasi global berdifusi ke dalam lokalitas masyarakat kita. Dan arus informasi global tersebut memiliki sisi yang bersifat konstruktif tapi ada juga bersifat destruktif.
Sayangnya, Dalam artikel bertajuk “Teknologi Masyarakat Indonesia : Malas Baca Tapi Cerewet Di Media Sosial” yang dipublikasi di situs Kominfo pada tahun 2017 dengan mengutip data dari UNESCO bahwa minat baca masyarakat Indonesia berada pada angka 0,001%, itu artinya dalam 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca.
Tidak heran jika kondisi ini membuat angka literasi masyarakat di Indonesia sangat minim. Dalam survey literasi yang di lakukan oleh Organisation For Economic Co-operation & Development (OECD), menunjukan bahwa Indonesia hanya berada pada tingkat 62 dari 70 negara yang menjadi responden.
Realitas ini membuat masyarakat kita menjadi lamban dalam memilah antara asumsi subyektif, fakta obyektif dan hoax, sehingga tidak heran jika hampir dalam setiap momentum politik, merebak konflik horizontal hanya karena dipicu oleh black campaign, hoax dan hate speech di media sosial.
Setiap kader Repdem harus bisa mengambil peran dalam memberikan edukasi politik yang konstruktif terhadap masyarakat. Setiap kader Repdem harus bisa menjadi sokoguru bagi masyarakat agar melek terhadap politik, sehingga bisa membangun iklim politif kondusif dan rasional, serta mendorong masyarakat agar memberikan partisipasi demokrasi yang konstruktif demi membangun bangsa yang bermartabat dan berkedaulatan.
Situasi Globalisasi
Tidak bisa di pungkiri bahwa kondisi global hari ini sangat dipengaruhi oleh perang ekonomi antara poros Tiongkok dan Amerika Serikat. Gesekan konflik kepentingan ekonomi skala global dari dua poros tersebut telah memicu gejolak ekonomi hingga ke kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Gejolak global ini memicu dampak yang sangat terasa hingga menembus ruang lokalitas dalam kehidupan masyarakat kita. Dampaknya sangat terasa memicu resesi dalam sektor sosial ekonomi dan ketegangan politik.
Realitas perang modern antar negara hari ini kadang tidak lagi melibatkan agresi militer dengan kontak senjata tapi menggunakan strategi ‘proxy war’. Proxy war adalah upaya asing melemahkan sebuah negara dengan menggunakan boneka asing dalam internal negara. Ideologi dan jati diri sebuah negara dilemahkan, kerap kali politik adu domba dalam negara pun bisa dilakukan melalui eksploitasi isu eksplosif yang bisa menyulut konflik skala besar. Dengan adanya konflik membuat situasi internal negara menjadi labil dan pertahanan pun melemah, dari situasi tersebut akan mempermudah terjadinya aneksasi asing.
Menyadari akan realitas di atas, maka setiap kader Repdem benar-benar harus tetap awas dari upaya aneksasi asing yang berpotensi melemahkan kedaulatan negara. Setiap kader Repdem harus benar-benar kritis menempatkan diri sebagai garda terdepan menjaga setiap jengkal kedaulatan negara. Dan pada saat yang sama, tetap mengawal bangsa besar ini konsisten pada rel perjuangannya untuk membawa setiap lapisan masyarakat mencapai berdikari secara ekonomi, politik dan budaya.
Dengan suksesnya pelaksanaan Rapat Kerja Nasional II Repdem pada tanggal 27-28 Februari 2021 di Hotel Horison Grand Serpong, menjadi sebuah tonggak perjuangan Repdem untuk lebih progresif mencetak kader-kader pelopor yang militan dan potensial untuk mengkonsolidasi gerakan perubahan di tatanan masyarakat akar rumput.
Dengan direkomendasikannya Wanto Sugito, S.Sos sebagai calon Ketua Umum Repdem, Dewan Pimpinan Nasional harus lebih mendorong semua kader Redpem solid dari pusat hingga ke daerah. Dengan tagline ‘Kesetiakawanan dalam perjuangan’ memacu setiap kader dari pusat hingga ke daerah memiliki satu visi, satu rasa, satu tekad dan satu langkah gerak perjuangan.