Pulang Kampung dan Mudik, Jangan Ikut-Ikutan Hujat Pak Presiden

Penulis, Agnes Senduk (Foto: Agnes)

Akhirnya ngga tahan untuk menulis tentang hal ini. Saya geli sendiri setelah membaca begitu banyak perdebatan h.o.t yang sebagian besar malah berujung pada pem-bully-an terhadap Presiden.

Mari kita bedah kedua istilah yang sedang mendapat sorotan utama sejak beberapa hari kemarin.

Makna pulang kampung dan mudik versi Pak Pak Presiden 

Pulang Kampung:

Keadaan di mana pekerja di rantau yang tidak memiliki rumah pribadi karena suatu kondisi harus kembali ke rumahnya di kampung di mana keluarga intinya (suami/istri/anak/orang tua bagi yang belum menikah) tinggal. Rata-rata orang yang akan melakukan perjalanan pulang kampung adalah individu, bukan rombongan keluarga, dan kepentingan untuk pulang cukup mendesak.

Contoh kasus:

(1) Agnes bekerja di Jakarta dan mendapat PHK karena pandemi covid-19 sehingga tidak memungkinkan lagi untuk tetap tinggal di rantau karena Agnes sudah tidak punya pemasukan untuk bertahan hidup.
Oleh karenanya, Agnes harus pulang kampung.
(2) Agnes kuliah di Malang dan memutuskan pulang kampung karena sejak adanya pandemi covid-19, orang tuanya sudah tidak bisa bekerja sehingga tidak mampu lagi menanggung biaya hidup Agnes.
Dari beberapa contoh di atas, dapat dilihat bahwa istilah pulang kampung ini merujuk pada kegiatan yang akan dilakukan dalam waktu lama dengan tujuan individu yang urgen.

Mudik:

Kegiatan di mana rombongan keluarga inti (ayah-ibu-anak”) dari kota berkunjung ke desa untuk bersilaturahmi ke rumah keluarga besar (kakek, nenek, tante, om, dsb) mereka karena ada perayaan penting (misalnya, hari raya keagamaan).

Contoh kasus:

Agnes dan keluarganya mudik ke Desa Wuwuk untuk merayakan Paskah bersama.

Dari contoh tersebut terlihat bahwa mudik ini merupakan kegiatan yang tujuannya santai, sehingga tidak beresiko buruk jika tidak dilakukan.

Nah, berdasarkan definisi versi Presiden Jokowi, saya tidak ingin menjustifikasi apakah Beliau salah dalam membuat definisi karena saya paham dengan prinsip bahasa yang utama yaitu “arbitrer” alias Manasuka, alias Suka Suka Gue.

Selama definisi tersebut tidak melenceng dari logika berbahasa, maka istilah itu tidak patut untuk dikatakan salah. Untuk membuktikan kecocokan definisi di atas dengan logika berbahasa (dalam ilmu semantik) silakan baca lanjutan tulisan di bawah ini.


Melengkapi Definisi Pak Presiden
Saya ingin sedikit melengkapi makna frasa “pulang kampung” yang dikemukakan Pak Presiden. Sebelumnya, saya tidak ingin terlalu fokus pada definisi KBBI yang mentok mengartikan pulang kampung = mudik. Itu namanya bukan definisi, tapi Sinonim.
(FYI, dulu saya pernah mengkritisi para perumus definisi di KBBI dari Pusat Bahasa terkait cara mereka menulis definisi suatu istilah hanya dengan 1 kata saja. Kebetulan saat itu, mereka mengadakan workshop di Balai Bahasa Sulut. Saya protes keras karena pengartian istilah dalam kamus jelas tidak bisa disamakan dengan sinonim istilah. Kesalahan yang mereka buat inilah yang menurut saya juga menjadi pemicu mengapa netijen sekarang memperdebatkan istilah “pulang kampung” dengan ‘mudik’ ini.)
Kata ‘pulang’ sebenarnya memiliki arti yang menurut saya sangat umum, yakni “tindakan kembali ke atau dari suatu tempat atau kondisi” (Webster). Definisi ini sejalan dengan pengertian yang termuat di KBBI, di mana kata ‘pulang’ diartikan sebagai “pergi/kembali ke rumah atau ke tempat asalnya”.
Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pulang kampung merupakan tindakan seseorang/sekelompok orang kembali ke kampung halamannya dari suatu tempat atau kondisi.
Itu berarti, sebenarnya kata pulang kampung ini adalah istilah umum di mana orang melakukan perpindahan tempat ke kampung halaman karena ada beberapa kondisi, misalnya:
(1) adanya PHK atau keadaan tak terhindarkan lain yang membuat orang tersebut wajib untuk pulang kampung (keharusan/keterpaksaan karena mungkin tidak bisa lagi survive di rantau);
(2) adanya keinginan pulang kampung dengan tujuan liburan untuk merayakan hari raya tertentu, hari istimewa internal keluarga/kenalan, atau hanya sekadar bersantai dan kumpul-kumpul dengan keluarga besar (tidak harus dilakukan).
Sekarang, kita beralih ke definisi “mudik”. Mudik berarti keadaan di mana orang melakukan perjalanan pulang kampung dengan tujuan untuk merayakan hari raya keagamaan dan dalam situasi yang tidak begitu urgen untuk melakukan perjalanan tersebut.
Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut.
* Seminggu menjelang Lebaran, sudah banyak orang yang pulang kampung.
** Seminggu menjelang Lebaran, sudah banyak orang yang mudik.
——–
Kedua kalimat ini sama-sama benar, baik struktur maupun unsur semantisnya.

Bandingkan dengan kalimat berikut.

——–
* Setelah mendapat kabar bahwa istrinya akan melahirkan, Roy segera membeli tiket kereta untuk pulang kampung.
** Setelah mendapat kabar bahwa istrinya akan melahirkan, Roy segera membeli tiket kereta untuk mudik.
——–

Nah, silakan lihat bedanya. Kedua kalimat ini secara struktur sudah benar, tetapi makna kalimat (**) tidak berterima karena kata ‘mudik’ tidak bisa digunakan untuk kondisi penting yang dialami Roy.

Jadi, simpulannya:


Definisi “pulang kampung” merupakan istilah umum yang memiliki beberapa klasifikasi kondisi di mana salah satu klasifikasinya adalah “mudik”.

Itu berarti, mudik bisa dikatakan kegiatan pulang kampung, tetapi tidak semua kegiatan pulang kampung bisa dikatakan mudik sehingga sebenarnya pendefinisian Pak Presiden di atas bisa berterima dan dibenarkan meskipun tidak tepat 100%.

Terlepas dari permasalahan istilah ini, saya setuju dengan “teori” kebijakan yang dibuat Presiden terkait larangan mudik, tetapi tetap mengizinkan orang untuk pulang kampung jika memang ada unsur keharusan atau keterpaksaan.

Kalau menonton wawancara Presiden Jokowi dengan Najwa, dengan tegas Pak Presiden sudah mengatakan bahwa dalam membuat kebijakan akan “ada pilihan-pilihan yang buruk semuanya (yang memaksa) kita harus memilih. Ngga akan memuaskan semua orang. Kalau ada pilihan baik dan pilihan buruk itu bisa (lebih mudah untuk) dipilih. Kalau buruk X buruk semuanya yah…”

Mungkin, inilah pilihan “buruk X buruk” yang Pak Presiden maksudkan sehingga, Pemerintah pada akhirnya harus memutuskan pilihan pada keadaan yang buruk dengan resiko paling kecil. Ini bukan kebijakan yang benar jika dikaji dari sisi kesehatan, tapi merupakan kebijakan paling bijaksana jika dilihat dari seluruh sisi.

Adapun untuk eksekusi di lapangan, saya masih menunggu dengan was-was bagaimana pemerintah akan mampu membedakan orang yang pulang kampung karena keharusan dengan yang mudik untuk sekadar bersantai.

Sedikit yang saya sayangkan dan ingin saya kritisi adalah pernyataan Presiden yang menurut saya terlalu optimis mengatakan bahwa 900.000 perantau yang sekarang sudah tersebar di kampung halaman tidak bertujuan untuk mudik, tapi untuk pulang kampung dalam memenuhi kondisi keharusan. Padahal, tidak sedikit kenalan-kenalan saya yang pulang kampung memang hanya untuk tujuan mudik. Bukan karena mereka sudah tidak bisa survive di perantauan.

Semoga saja dengan tulisan ini, rakyat pun bisa memahami maksud Pak Presiden dan membantu Pemerintah mengeksekusi kebijakan tersebut agar tepat sasaran dan bukan malah memanfaatkan polemik istilah ini untuk mencari pembenaran saat kalian mudik.

Oh ya, pesan saya untuk kalian yang berdebat, jika kalian bukan anak bahasa Indonesia, silakan pelajari lagi semantik bahasa Indonesia baru masuk dalam perdebatan. Kalau hanya bermodalkan KBBI lalu masuk arena debat dan menghujat Pak Presiden, silakan hapus saja komentarnya sebelum semakin Halu.

Meskipun beberapa dari kalian belajar bahasa, saya rasa kalian pasti paham bahwa semantik setiap bahasa itu tidaklah sama. Jadi, kalau hanya belajar semantik bahasa asing, tidak usah songong membahas semantik bahasa Indonesia.

Juga, untuk kalian mahasiswa atau lulusan Jurusan Bahasa Indonesia, kalau hanya bisa membuat simpulan dangkal dan ikut-ikutan menghujat Presiden dengan modal screenshot-an KBBI, monggo kuliah lagi di kelas Semantik.

Agnes Senduk, Malang 2020 di Tengah Pandemi Covid-19.

Pos terkait