Pendidikan Karakter Indonesia: “Ngga Ada Akhlak!”

Penulis, Agnes Senduk.  (Foto: Agnes/bininta)

Senang rasanya hari ini (Red-Jumat 8/5/2020) bisa mengikuti diskusi para pakar dan praktisi pendidikan tentang “Membangun SDM Unggul Melalui Revisi UU Sisdiknas”. Disajikan dalam dua kali live streaming, diskusi ini dipandu oleh dua moderator secara bergantian, yaitu Dr. Joseph MJ. Renwarin, SE, MM (sesi 1) dan Ibu Tantri Moerdopo (sesi 2) dengan menghadirkan 10 narasumber:

1. Menkominfo RI JOHNNY G. PLATE, SE;
2. Bapak Indra Charismiadji (Pengamat Pendidikan);
3. Bapak Yustinus Prastowo, S.E., M.Hum., MA (Staf Khusus Menteri Keuangan RI);
4. Ibu Esti Wijayanti (Anggota Komisi X DPR RI);
5. Drs. Adrianus Asia Sidot, M.Si (Anggota Komisi X DPR RI);
6. Mayjen TNI (Purn) Tono Suratman (Kepala SMA Taruna Nusantara Magelang);
7. Dr. Apolo Safanpo, ST., MT (Rektor Universitas Cenderawasih);
8. Dra. Mediatrix Ngantung, M.Pd (Kepala SMAN 8 Manado);
9. Prof. Eko Indradjit, M.Sc (Pakar Teknologi);
10. Zanipar S. Siadari (PT. Epson Indonesia).


Setelah sejak pagi hingga sore menyimak diskusi tersebut selama kurang lebih 4 jam, saya sampai pada sebuah simpulan bahwasanya pendidikan karakter tetap menjadi pilar terpenting dalam menghasilkan SDM yang benar-benar unggul. Hal ini tentunya didukung dengan teknologi pendidikan agar semakin mumpuni dalam menghadapi persaingan di era industri 4.0.

Rumusan simpulan tersebut sebetulnya sudah bertahun-tahun duduk di bangku-bangku perdebatan dalam dunia pendidikan dan berakhir dengan berbagai eksekusi kebijakan. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan salah satu kebijakan yang telah lama mengedepankan nilai ketuhanan dan akhlak sebagai komponen terpenting suatu landasan pendidikan. Bahkan kemudian, revisi kurikulum KTSP 2006 menjadi K13 yang memboyong penilaian karakter telah dieksekusi pelaksanaannya sejak tahun ajaran 2013/2014 silam.


Sayangnya, seperti yang dikemukakan Ibu Mediatrix dalam diskusi tersebut di atas, sejak tahun 2003 ketika UU Sisdiknas baru disahkan hingga saat ini, belum banyak perubahan signifikan dalam pembelajaran di sekolah, terutama yang berada di luar Pulau Jawa. Fakta ini seolah mengisyaratkan bahwa beragam kebijakan yang telah diluncurkan tidak lebih dari gonta-ganti “kulit kacang” tok. Padahal, rasa kacang di dalamnya ya sama saja.

Saya pun sebagai peserta didik yang juga pernah menjadi pendidik selama beberapa bulan turut merasakan hal yang sejalan dengan realita yang dipaparkan oleh narasumber asal Sulawesi Utara tersebut. Pendidikan karakter hanya berubah di atas kertas rencana pelaksanaan pembelajaran. Eksekusinya? Tidak kelihatan!

____________________________

MASALAH PENDIDIKAN KARAKTER YANG NGGA ADA AKHLAK

Saya teringat dengan salah satu pengalaman saya terkait pendidikan karakter tepat waktu.
Sejak SMP, saya semakin gemar membaca komik dan novel serta mulai mesra dengan segala fasilitas teknologi, seperti DVD player, laptop, handphone, dsb. Hal ini membuat saya bisa menghabiskan waktu hingga tengah malam untuk menikmati berbagai suguhan hiburan—tentunya selepas saya selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Akibatnya, saya terlambat hampir setiap hari ke sekolah karena kesulitan bangun di pagi hari.

Memasuki pertengahan semester saat berada di Kelas 2 SMP, keterlambatan saya disorot oleh para guru. Sampai suatu ketika, saya ditegur oleh SELURUH guru di ruang guru pada jam istirahat. Teguran itu sangat menyakitkan, membuat saya ketakutan setengah mati. Saya ingat betul bahwa saya menangis karena malu dan takut dengan ancaman yang dilontarkan beberapa guru. Katanya, kalau terlambat terus, saya akan dikeluarkan dari sekolah. Meskipun sifatnya keras dan menyakitkan, sesudah kejadian itu kehidupan saya mengalami perubahan yang besar.

Saya tidak lagi terlambat ke sekolah. Sampai lulus SMA, saya semakin disiplin dalam memanajemen waktu di pagi hari agar tiba di kelas sebelum pagar sekolah dikunci. Hal ini terus berlanjut hingga kuliah. Saya beberapa kali menjadi mahasiswa yang paling pagi datang ke kampus. Meski kuliah dimulai pukul 8, saya sudah nongkrong di kelas sejak pukul 7.
Bahkan dalam beberapa kesempatan, saya menyapu 5 ruang kelas di gedung baru sambil menunggu teman-teman dan dosen datang.

Namun, sebuah momen mengecewakan mengubah saya kembali kepada karakter pemalas. Saya ingat dalam sebuah tatap muka mata kuliah semester 3, saya sudah berada di kelas setengah jam lebih awal dari jadwal. Ketika sudah waktunya kelas dimulai, hanya ada 2 mahasiswa lain selain saya. Saya pun mengambil inisiatif untuk menghubungi dosen dan yang mengecewakan adalah dosen tersebut berkata, “Wah! Baru 3 orang ya di kelas… Tolong panggil saya lagi kalau sudah lebih dari 5 mahasiswa ya.”

Saya tidak terima. Bagaimana bisa kami yang datang tepat waktu terpaksa menunggu orang yang datang terlambat agar bisa memulai kelas? Rasanya ketidakdisiplinan justru lebih diapresiasi ketimbang kami yang sudah berusaha tepat waktu. Sejak saat itu, saya perlahan kembali menjadi malas. Saya semakin meremehkan waktu. Rekor kemalasan saya adalah ketika saya datang ke kelas dan berpapasan dengan dosen yang sudah selesai mengajar di depan pintu. Saat itu, saya bahkan tidak malu sama sekali untuk bersikap tidak disiplin karena merasa “Toh terlambat atau tidak, saya tidak akan dihukum.”

———————————————–

Saya pikir, cerita di atas merepresentasikan jawaban atas pertanyaan “Apa yang salah dari kebijakan pendidikan berbasis karakter di Indonesia?” yaitu:
TIDAK ADA HUKUMAN BERARTI UNTUK ORANG YANG TIDAK BERAKHLAK.

Selama ini, pendidikan karakter hanya memiliki penilaian yang bersifat formalitas. Nilai sikap tertera di rapor hanya sebagai pemanis saja, tidak menentukan ranking siswa atau kelulusannya. Kalau ada pelanggaran terhadap nilai karakter, siswa hanya diberikan hukuman ringan yang tidak menimbulkan efek jera. Saat siswa tidak membuat tugas, dia hanya dihukum berdiri 15 menit lalu selesai. Masalah siswa yang merundung teman hanya diselesaikan dengan permintaan maaf dan anggapan bahwa “mereka hanya bercanda”. Pada beberapa kasus ketika guru mencoba mendisiplinkan siswa dengan sanksi yang lebih keras, maka guru tersebut yang malah masuk bui.

Hal yang sama terjadi di kalangan para guru dan pegawai. Guru yang terlambat hanya mendapat teguran lisan, bahkan kadang dibiarkan saja. Pegawai malas tidak dikenakan sanksi karena progress pekerjaan mereka hanya dilaporkan ke KTU saja, bukan kepada Kepala Sekolah.

Yang paling lucu dan menjadi tren saat ini adalah PERMINTAAN MAAF DAN KLARIFIKASI, entah tulus atau pura-pura, selalu menjadi kunci bagi para pelajar dalam menyelesaikan masalah. Saya jadi ingat dengan dialog Lee Minho dalam drama BBF yang begitu terkenal, “Jika semua permintaan maaf dapat menyelesaikan masalah, apa gunanya polisi dan jaksa?”

Dua contoh kasus berkaitan dengan hal ini sebagai berikut.

  1. Sekelompok pelajar Riau yang viral karena merayakan kelulusan dengan corat-coret seragam (bahkan lengkap dengan menggambar penis) di tengah pandemi covid-19 diselesaikan masalahnya dengan permintaan maaf SAJA yang bahkan tidak terdengar tulus sama sekali. Padahal, mereka telah melanggar protokol kesehatan pemerintah, aturan-aturan sekolah, bahkan aturan keagamaan dalam hukum Islam.
  2. Kasus “Kutandai kau…” yang dulu memancing amarah netizen karena keluar dari mulut seorang siswi asal Medan saat melabrak seorang polwan malah diakhiri dengan pemberian gelar Duta Anti Narkoba kepada siswi tersebut.

Inilah potret kemunduran dari pendidikan karakter di Indonesia. Penghargaan kerap dianugerahkan justru ketika seseorang melakukan tindakan amoral. Kalau sudah begini, kapan SDM kita bisa unggul?

Itulah mengapa saya dengan lugas mengemukakan bahwa PENDIDIKAN KARAKTER INDONESIA: “NGGA ADA AKHLAK!”

____________________________
TAWARAN SOLUSI UNTUK MEMBUAT PENDIDIKAN INDONESIA SEMAKIN BERAKHLAK

Sebelum masuk dalam tawaran solusi, mari menelaah sejenak kisah dua negara yang terkenal dengan masyarakat berkarakter unggul.

1. JEPANG

Jepang merupakan salah satu negara favorit yang sering dijadikan contoh saat membahas masalah pendidikan karakter. Dunia sudah mengakui bahwa Jepang berhasil menanamkan karakter disiplin dan jujur dalam masyarakatnya. Namun, tahukah kalian bahwa masyarakat Jepang pernah berada pada kondisi di mana mereka tidak begitu disiplin dengan waktu?

Ya! Jepang dulu pun tidak begitu menghargai waktu. Kesadaran akan pentingnya waktu baru mulai dicanangkan di era Restorasi Meiji pada tahun 1868. Kesadaran ini pun tidak tumbuh secara instan. Pemerintah menghadirkan kesadaran secara “paksa” lewat aturan yang ketat, utamanya dalam sistem pendidikan. Siswa Jepang saat itu wajib hadir di kelas 10 menit sebelum kelas dimulai. Setiap pelanggaran keterlambatan siswa akan mendapat hukuman dari gurunya yang adalah mantan samurai.
Silakan bayangkan sendiri bagaimana kerasnya seorang samurai menghukum siswanya…

Butuh kurang lebih 2 abad bagi Jepang untuk akhirnya berhasil membudayakan karakter unggul dalam masyarakatnya seperti yang kita lihat hari ini.

2. SINGAPURA

Siapa yang tidak mengenal betapa bersihnya Singapura? Negara ini dinobatkan sebagai Negara Terbersih di dunia dan karena kebersihannya inilah, peluang pariwisata dan bisnis menganga selebar auman Merlion. Bagaimana Singapura bisa mendapatkan gelar prestisius tersebut tidak lepas dari aturan super ketat yang dibuat Perdana Menteri mereka, Lee Kuan Yew, di tahun 1965. Masyarakat “dipaksa” menjaga kebersihan lingkungan dengan ancaman denda bagi para pelanggarnya.

Kisah kedua negara ini menjadi bukti bahwa kesadaran untuk membudayakan karakter positif biasanya diawali dengan pemaksaan lewat pemberian hukuman yang bisa menakuti masyarakat.

Ketakutan sering merangsang sikap patuh sebagai upaya defensif untuk menghindari hal-hal negatif yang mungkin terjadi.
Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan kesadaran yang sama di Indonesia, saya rasa pendidikan karakter harus mendapat tempat kehormatan sebagai HAKIM atas siswa maupun warga sekolah lain. Pendidikan karakter harusnya memiliki penilaian sikap yang terukur dalam berbagai indikator dan angka untuk mengapresiasi serta menghukum warga sekolah. Bahkan, penilaian sikap tersebut harus disejajarkan dengan penilaian kognitif dan psikomotor sebagai penentu kelulusan/kenaikan kelas.

Para Potterheads pasti ingat bagaimana Sekolah Sihir Hogwarts menerapkan sistem poin untuk menilai sikap, kognitif, dan psikomotor seorang Harry Potter serta siswa lainnya di setiap asrama. Hal serupa bisa diterapkan dalam penilaian sikap di lingkup satuan pendidikan Tanah Air. Kita memang tidak punya kekuatan sihir, tapi teknologi bisa membantu memudahkan terwujudnya hal ini.

Sebagai contoh, pemerintah menyediakan aplikasi khusus bagi guru untuk mencatat nilai sikap siswa. Di dalam aplikasi tersebut, disediakan form rumusan segala kegiatan yang patut mendapat reward dan hal-hal apa saja yang patut mendapat punishment.

Jika ada siswa yang datang tepat waktu ke sekolah, rajin mengikuti kerja bakti, rajin ibadah, memasukkan tugas tepat waktu, bersikap jujur saat ujian, dsb maka mereka diberi poin plus (+), selain juga mungkin diberi penghargaan nyata (pujian verbal, beasiswa, dsb). Kemudian, jika mereka melakukan pelanggaran, mereka diberi poin minus (-) dan hukuman fisik yang tidak melanggar HAM tentunya. Adapun bobot poin minus untuk setiap pelanggaran sebaiknya lebih besar dari poin plus.

Setiap pelanggaran yang tercatat dapat diakses oleh orang tua, wali kelas, guru BK, dan kepala sekolah sebagai bentuk tindak lanjut dalam upaya melakukan pembinaan. Selanjutnya, akumulasi penilaian sikap ini menjadi 50% penentu apakah siswa tersebut layak untuk naik kelas/lulus atau tidak.

Guru dan warga sekolah lain pun bisa turut mendapat penilaian dari siswa setiap bulan atau setiap akhir semester dengan menggunakan aplikasi khusus. Seperti pelaku jasa online lain, kepala sekolah, guru, dan pegawai bisa diberi rating kinerja oleh siswa. Yang paling tinggi rating-nya bisa mendapatkan reward uang atau apapun yang memungkinkan, sedangkan guru yang mendapat rating rendah bisa mendapat hukuman pemotongan gaji, dll.

________________________________
Entah tawaran solusi di atas bisa sampai ke telinga para pemangku kebijakan, yang pasti besar harapan saya Indonesia sesegera mungkin menemukan cara efektif untuk mengubah pola pendidikan karakter dari yang hari ini masih terkesan ngga ada akhlak menjadi lebih berakhlak.
Semoga demikian!


Penulis
Agnes Senduk, Malang 2020 di Tengah Pandemi Covid-19.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *