Manusia di Era yang Serba Teknologi

Manusia dan Era Teknologi
Ilustrasi. 

ADANYA teknologi membawa manusia pada koin dari harapan yang seharusnya memiliki dua sisi. Di satu sisi dapat berperan sebagai upaya membebaskan manusia dari belenggu ketidakberdayaan (seperti penyakit atau kecacatan), sedangkan di sisi lain teknologi juga menyadarkan masyarakat (seperti terkikisnya diri sendiri, emosi, dan spontanitas).

Realitas ini dapat dilihat dan dirasakan melalui penanaman teknologi pada manusia seperti pil, alat prostetik, dan alat pemantauan. Faktanya, beberapa teknologi melibatkan pengetahuan manusia seperti rekayasa genetika yang sebenarnya dapat mempertanyakan apa dan siapa itu manusia.

Kini disadari bahwa keberadaan salah satunya, nanobiotechnology – yang merupakan perkembangan dari nanoteknologi, sebenarnya telah menghapus batasan antara teknologi dan konsep manusia, atau antara sesuatu yang teknis dan sesuatu yang hidup.

Secara sederhana, nanobioteknologi adalah kombinasi dari bio dan nanoteknologi, suatu disiplin ilmu yang bertujuan untuk menjembatani hubungan antara makhluk tak hidup dan makhluk hidup dalam skala molekuler. Kerangka dasar dari nanobioteknologi adalah bahwa bentuk kehidupan dimulai dari benda-benda berskala nano, seperti protein atau DNA.

Keberadaan nanobioteknologi dapat ditemukan di bidang kesehatan, dan berpotensi meningkatkan penyediaan tindakan medis, seperti alat diagnostik skala nano dan pembuatan alat pengiriman obat skala nano (robot nano) yang dapat mempermudah dan memastikan akurasi tindakan medis.

Semangat bionanoteknologi dalam bidang kesehatan tidak lagi hanya sekedar penyembuhan dan perbaikan (restorative power), tetapi juga membawa semangat penyempurnaan.

Contoh sederhana dapat ditemukan dalam bentuk nanoelektronika yang dapat diimplantasikan saraf, seperti mata buatan, yang dimaksudkan untuk mengimbangi fungsi organ sensorik dan sistem saraf. Tetapi pada saat yang sama ia juga memiliki kekuatan untuk meningkatkan kemampuan organ dan sistem saraf tersebut bahkan memperluas persepsi manusia (seperti memperluas visibilitas, supersensor seperti radar melalui infra merah atau ultraviolet, dan kemampuan merekam).

Proses dan kemungkinan untuk menjembatani organ buatan dengan sistem saraf adalah sesuatu yang di luar dugaan manusia sebelumnya; bionanotechnology (dan bioteknologi pada umumnya) hadir untuk menjawabnya.

Tujuan akhir dari proses peningkatan tenaga manusia, salah satunya jelas untuk membebaskan manusia dari belenggu maut atau setidaknya menunda kematian (seperti lewat usia, keausan organ, dan penyakit) yang merupakan nafas wacana. dari transhumanisme.

Beberapa Pertimbangan Etis

Mengenai kesadaran manusia terhadap perkembangan bionanoteknologi, khususnya terkait asumsi mengaburkan batas antara manusia dan teknologi; Implikasi dan hubungannya dengan kehidupan manusia dapat dilihat melalui pendekatan etika spekulatif. Pendekatan etis spekulatif menggunakan kerangka penalaran “jika-maka”, yaitu upaya menggali kemungkinan yang bisa terjadi dan konsekuensi dari kemungkinan tersebut. 

Selain itu, pendekatan etika spekulatif menggunakan instrumen berupa deskripsi skenario. Skenario ini didasarkan pada realitas nyata dan diproyeksikan (di luar pekarangan) pada aspek dan elemen yang dapat mempengaruhinya. Bentuk skenario ini diperlukan untuk menganalisis konflik dan ancaman yang ada. 
Analisis konflik dan ancaman ini tidak dapat digunakan sebagai argumen murni untuk penolakan atau penerimaan tawaran bionanoteknologi, tetapi hanya dapat bertindak sebagai etika reflektif atas pengetahuan dan penerapan bionanoteknologi serta konsekuensi yang mungkin timbul darinya.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa manusia bukanlah makhluk yang terbatas pada satu dimensi (cara pandang). Manusia memiliki daya reflektif yang dapat digunakan sebagai katrol, sehingga keberadaan teknologi yang akan diterima harus mampu menjawab pertanyaan terkait kelayakan dan keinginan: apakah mungkin; apakah dia perlu; apakah itu dapat diterima; dan jika diterima sampai sejauh mana. 

Melalui upaya reflektif, manusia akan selalu dalam semangat optimisme-skeptisisme, di satu sisi manusia optimis terhadap perkembangan dan penerapan iptek, namun di sisi lain manusia juga skeptis terhadapnya.

Bentuk implantasi artefak ke dalam tubuh manusia memungkinkan manusia untuk dapat melakukan aktivitas yang sebelumnya mungkin terbatas, sehingga argumen ini dapat digunakan untuk menjawab kategori “perlu”, karena ditujukan untuk membebaskan manusia. 

Tentunya dengan catatan dapat memberikan rasa aman (safety) bagi penggunanya (seperti terkait dampak material atau komponen untuk jangka panjang). Kemudian untuk menjawab kategori “dapat diterima”, terdapat kemungkinan bahwa implantasi artefak dapat memperluas hak otonomi manusia, yang sebelumnya terdapat stigma bahwa manusia tidak memiliki (terbatas) kendali atas diri sendiri atau teknologi. 
Perluasan hak otonomi manusia memungkinkan manusia untuk mempertimbangkan apakah dirinya (sebagai individu) masih cacat, sehingga mengatasi bentuk kecacatan ini merupakan hak yang dapat ditempuh melalui bionanoteknologi (sebagai bentuk keadilan distributif). 
Penting juga untuk diingat bahwa bagi kebanyakan orang, kehidupan sosial adalah persaingan bagi setiap individu (ibarat dunia yang penuh dengan peringkat dan penilaian serta evaluasi yang konstan), sehingga upaya-upaya yang dianggap dapat meningkatkan kemampuan dan kualitasnya, mendapat posisi penting. yang perlu dikejar.

Beberapa Konsekuensi

Jika semua hal tersebut diterima maka akan berdampak pada banyak hal, terutama kemungkinan terjadinya perubahan konsep dan pemahaman tentang manusia itu sendiri sebagai organisme dan kehidupan sosial. 

Melalui implantasi artefak yang dapat berperan dan berfungsi sesuai fungsinya, manusia telah melampaui konsep “hewan rasional” (sebagai bagian dari entitas biologis), dan mungkin telah berubah menjadi “mesin hewan” atau “super rasional. mesin hewan “(sebagai bagian dari kombinasi antara entitas biologis dan mesin). 
Contoh sederhana implantasi artefak adalah implantasi chip di otak, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan memori otak manusia, dan kemungkinan untuk mentransfer memori dari satu manusia ke manusia lainnya. Jika hal ini terwujud maka proses manusia menjadi “mesin hewan” telah merubah total konsep diri manusia (self-concept) dan kematian itu sendiri, karena sangat mungkin bahwa diri manusia hanya dianggap sebagai objek yang dapat digunakan kembali, sedangkan esensi manusia terletak pada memori yang dapat dipindahkan dari satu tubuh ke tubuh lainnya, bahkan mungkin konsep reproduksi sudah tidak relevan lagi bagi manusia karena sudah mencapai keabadian.
Di sisi lain, hal itu dapat menimbulkan kebingungan tentang konsep identitas. Konsep identitas pada manusia merupakan sesuatu yang dianggap unik, karena melibatkan berbagai faktor seperti fisik, sifat, dan ingatan yang hanya untuk diri sendiri (personal). 
Namun, melalui upaya transfer memori, dimungkinkan bagi seseorang untuk mengakses memori orang lain (sebagai gambar bersama). Sedangkan implikasi yang paling ekstrim adalah potensi eksploitasi manusia (total control) melalui kekuatan citra bersama, yang sebelumnya mungkin berguna sebagai bentuk pengumpulan data dan upaya pemantauan kesehatan masyarakat, malah dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dan lainnya. lembaga untuk tujuan tertentu.

Konsekuensi lain terkait dengan sosial ekonomi, nanobioteknologi tentunya bukanlah teknologi yang murah; itu hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki sumber daya besar (aset dan dana). Ketimpangan akses dapat berimplikasi pada terciptanya kesenjangan dalam masyarakat, orang yang memiliki sumber daya dapat mengakses dan menikmati peningkatan kualitas hidup secara instan (seperti menjadi lebih pintar, lebih produktif, atau lebih kuat), sedangkan mereka yang tidak memiliki sumber daya akan tetap normal dan tidak ada. perbaikan apapun. 

Kesenjangan ini berpotensi untuk bentuk-bentuk eksploitasi terhadap mereka yang dianggap tidak setara, dan menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ketimpangan (akses dan sumber daya) dapat diterima secara moral?
Tentunya, bionanoteknologi memiliki potensi manfaat yang sangat besar untuk peningkatan kualitas hidup manusia. Namun, masalahnya adalah sejauh mana hal ini diizinkan oleh manusia, jadi jelas untuk menjawab kategori “sejauh mana” perlu ada batasan dalam koridor penerapan dan penggunaannya. Tetapi jawaban itu menimbulkan pertanyaan lain; siapa yang berhak membuat batasan ini?. 

Pertanyaan ini tentunya sangat sulit untuk dijawab karena akan melibatkan banyak argumentasi, norma, nilai, dan kekuasaan (seperti negara, lembaga, komunitas ilmiah) dan membutuhkan pemahaman yang utuh (mencapai konsensus) di antara berbagai aspek. 
Maka perlu dipahami bahwa tradisi lama seperti ethical inquiry tidak akan mengarahkan orang untuk menyelesaikan masalah ini dengan jawaban yang proaktif, karena sudah pasti penolakan adalah jawaban yang paling tersedia, sehingga diperlukan pendekatan baru yaitu etika reflektif untuk mengakses segala sesuatu. kemungkinan batasan yang diperlukan dalam proses pengembangan dan penerapannya. 
Alasan ini disadari bahwa bionanoteknologi sebagai bagian dari perkembangan teknologi yang ada tidak dapat dihentikan, tetapi hanya dapat dibatasi pada pengembangan dan penerapan lebih lanjut.
Penulis

Fadhel Fikri
Co-founder Lingkar Studi Filsafat (LSF) Sophia, Penulis aktifi di PikiranKita

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *