Namun secara umum, impeahment melibatkan 3 lembaga negara. Lembaga eksekutif (Kepala negara dll) sebagai terdakwah dari pemakzulan, lembaga legislatif (Dewan Perwakilan) yang mendakwah dan mangajukan pemakzulan, dan lembaga Yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Agung (Constitusional Court).
Impeachment diajukan oleh Lembaga Legislatif
Secara umum, impeachment diajukan oleh Lembaga Legislatif atau Dewan Perwakilan yang duduk di parlemen.
Lembaga legislatif mendakwah atas tindakan pelanggaran berdasarkan alasan-alasan yang tertuang dalam konstitusi.
Anggota parlemen melaksanakan sidang pemakzulan dan pemungutan suara. Apabila dalam pemungutan suara, suara mayoritas (umumnya 3/4 suara parlemen) menyetujui pemakzulan, maka parlemen menyatakan bahwa pejabat tersebut dimakzulkan.
Pengaturan tentang pemakzulan di lembaga legislatif diatur sesuai dengan konstitusi masing-masing negara.
Peran Lembaga Yudikatif dalam Impeachment
Proses politik ini juga melibatkan lembaga Yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Agung (Constitusional Court).
Apabila sebuah negara hanya memiliki lembaga Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung terlibat dalam proses impeachment, namun apabila sebuah negara yang menerapkannya memiliki dua lembaga ini, maka besar kemungkinan Mahkamah Konstitusi-lah yang terlibat.
Peran lembaga yudikatif ini tergantung pada kewenangan yang diberikan konstitusi di masing-masing negara.
Dalam proses impeachment, ada negara yang memberikanwewenang kepada lembaga Yudikatifdalam memberikan keputusan final pemakzulan.
Misalnya di Korea Selatan dalam kasus impeachment mantan Presiden Park Geun-hye (2016-2017) dan mantan Perdana Menteri Roh Moo-hyun (2004).
Dalam kasus Presiden Park Geun-hye, mayoritas anggota Majelis Nasional Korea Selatan menyatakan Park Geun-hye dimakzulkan. Namun keputusan ini tidak membuat Park langsung diberhentikan dari jabatannya. Keputusan Majelis Nasional dibawa ke Mahkamah Konstitusi Korsel untuk disidangkan.
Mahkamah Konstitusi lalu melaksanakan sidang dalam kurun waktu hampir 3 bulan hingga akhirnya mengeluarkan putusan. Pada kasus Park sendiri, 8 hakim MK Korsel secara bulat menyatakan bahwa pemakzulan sah, sehingga pemakzulan Park memiliki landasan politik dan hukum. Dengan demikian, usai keputusan MK, Park secara resmi diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden.
Putusan akhir pemakzulan di tangan MK juga dapat dilihat dalam kasus pemakzulan terhadap Roh Moo-hyun, Perdana Menteri Korsel periode 2003-2008. Oleh parlemen Korsel, pada tahun 2004, Roh ditetapkan bersalah lantaran melakukan suap dalam pemilu yang dimenangkannya.
Dia kemudian mengajukan gugatan putusan parlemen ini ke MK Korea Selatan, dan MK mendapati bahwa Roh memang melakukan suap namun tuduhan itu tidak cukup kuat untuk membuatnya turun dari jabatannya, sehingga Roh tetap menjabat sebagai Perdana Menteri.
Namun, ada juga sistem dimana Lembaga Yudikatif berperan menjembatani landasan hukum peristiwa politik pemakzulan ini.
Misalnya dalam kasus pemakzulan mantan Presiden Lithuania, Rolandas Paskas tahun 2004. Mahkamah Konstitusi Lithuania berperan menjembatani proses pemakzulan dan tidak berwenang memberikan keputusan akhir. Artinya, impeachment menjadi murni proses politik.
Dengan keputusan mayoritas di Parlemen menyetujui pemakzulan Paskas, maka ini menjadi keputusan akhir sehingga secara sah dia diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden.
Kasus lainnya seperti terjadi di Amerika Serikat. Amerika tidak memiliki MK dan dalam kasus impeachment kepala negara, Supreme Court of the United States (SCOTUS) atau Mahkamah Agung AS yang mengambil peran.
Konstitusi AS mengatur bahwa Mahkamah Agung AS memimpin sidang pemakzulan Presiden, namun keputusan MA bukan berdasarkan pertimbangan hakim-hakimnya. MA AS hanya memimpiin sidang, mengesahkan pemakzulan dan memberikan landasan hukum sahnya pemakzulan, sedangkan keputusan pemakzulan sepenuhnya ada di tangan mayoritas anggota Senat.
(Red)