Penulis: Meutia Amara Salsabila | Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Syiah Kuala
Bukan menjadi hal yang tabu lagi dimana orang-orang memanfaatkan teknologi sosial media untuk memamerkan sesuatu, misalnya foto outfit mahal, perjalanan liburan ke berbagai negara, momen makan malam di restoran mewah, atau mungkin sekedar berbagi cerita dan pengalamannya yang mengasyikkan.
Namun, tak jarang juga orang-orang memanfaatkan sosial media sebagai tempat untuk meluapkan emosi dan perasaannya. Bahkan banyak dari mereka yang kerap sering mengumbar kesedihan, perasaan negatif, depresi dan penderitaan di sosial media.
Sayangnya, kegiatan ini malah menjadi tren di sosial media yang banyak dilakukan oleh orang-orang. Sadfishing adalah kata yang tepat untuk menggambarkan fenomena ini.
Sadfishing menjadi tren yang bertujuan mengunggah masalah emosional seseorang dengan berlebihan untuk menarik perhatian, simpati, atau menggaet audiens.
Para remaja menjadi kelompok pengguna sosial media yang cenderung lebih sering melakukan sadfishing dibandingkan kelompok usia lain.
Fenomena ini juga justru meningkat setelah mulai ada banyak selebritis yang melakukan hal ini sebagai upaya untuk menjaring simpati followers mereka di dunia maya atau menambah followers itu sendiri dan menambah ketenaran.
Seseorang memang memegang hak penuh untuk memposting apapun di sosial media pribadinya dengan sesuka hati. Namun perlu dipahami bahwa mengumbar kesedihan di sosial media seperti sadfishing berpotensi membawa dampak yang cukup besar bagi orang lain. Memposting konten yang emosional juga dapat menyebabkan pembaca mengalami kecemasan, stres fisik maupun mental.
Meskipun media sosial dapat memberikan tempat yang mendukung orang-orang untuk membicarakan kesehatan mental mereka atau masalah kesehatan lainnya, penting untuk diketahui bahwa postingan yang tidak jujur dapat lebih merugikan daripada menguntungkan.
Bagi beberapa orang, sadfishing adalah sesuatu yang membuat mereka risih dan terganggu. Ini bukan berarti mereka tak memiliki hati nurani dan tidak menunjukkan rasa simpati, namun sadfishing dapat memicu rasa kesedihan yang sama oleh si pengguna sosial media ketika melihat postingan tersebut. Terlebih lagi jika mereka hanya ingin mencari hiburan dari sosial media.
Alih-alih mendapatkan hiburan, orang-orang yang melihat postingan sadfishing ini malah dapat membuat suasana hati mereka rusak dan menurunkan mood.
Fenomena sadfishing dapat menutup celah bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkan bantuan dan dukungan emosional dari sosial media. Para pengguna sosial media yang terbiasa dengan sadfishing menjadi enggan mengakui dan memvalidasi perasaan orang-orang tersebut.
Mereka justru menganggap kesedihan yang ditunjukkan hanya sebagai alat untuk mencari perhatian saja. Terlebih lagi jika orang-orang tersebut berakhir dengan dikucilkan dan mendapatkan cyberbullying.
Menurut studi oleh Digital Awareness UK, tren sadfishing dapat mempersulit remaja menghadapi tantangan kesehatan mental untuk mencari dukungan secara online. Alih-alih mendapat dukungan, mereka malah mendapat cecaran komentar yang tidak pantas di sosial media.
Akibatnya, memposting masalah emosional di sosial media justru malah memperparah kondisi emosi dan mental orang-orang yang memang punya masalah kesehatan mental.
Apa tindakan yang dapat dilakukan jika kita bertemu dengan seorang sadfisher, terlebih lagi jika orang tersebut mempunyai relasi dekat dengan kita, seperti keluarga, teman atau saudara? Memang tidak ada cara yang dapat dilakukan untuk tahu seseorang tersebut hanya mencari perhatian saja atau benar-benar sedang dalam kesulitan. Namun, kita tetap dapat memberikan respon yang serius dan baik.
Menghubungi teman dan menawarkan dukungan menjadi respon terbaik yang dapat dilakukan. Selain itu juga kita dapat menunjukkan rasa empati dibandingkan simpati, karena dengan bersimpati seolah-olah mengatakan “Kasihan sekali kamu,” sedangkan empati lebih menunjukkan rasa pengertian dan kasih sayang, seperti “Apa yang bisa kubantu?”
Ketika rasa kekhawatiran mengenai tindakan melukai diri sendiri oleh remaja mulai muncul, maka segeralah berdiskusi dan mencari pertolongan kepada orang dewasa. Karena mereka lebih terlatih untuk menangani masalah yang serius dan sensitif.
Selain itu, sekarang sudah tersedia layanan online yang dapat digunakan oleh para remaja dengan menelpon, mengirim pesan atau mengobrol dengan profesional berkualifikasi sehingga mereka bisa mendapatkan dukungan langsung atau rujukan ke penyedia layanan kesehatan.
Hal penting terbaik yang orangtua harus lakukan adalah dengan mengobrol bersama anak remaja mereka. Orangtua diharapkan untuk sering berbicara dengan anaknya sehingga memiliki jalur komunikasi terbuka dan dasar kepercayaan.
Jika orangtua mendapati anaknya yang menunjukkan tanda-tanda tak baik, maka tidak boleh dibiarkan dan harus ditindaklanjuti secara terbuka dan mendukung dan yang terpenting dengan cara yang tidak menghakimi.
Kesimpulannya, sadfishing bukan menjadi cara yang tepat untuk mendapat dukungan emosional. Daripada mengumbar kesedihan dan emosi negatif di sosial media, ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk meluapkan perasaan negatif yang dipendam. Misalnya dengan mendengarkan musik yang lembut dan menenangkan, menulis jurnal harian, mengisi mood tracker, berolahraga, melakukan hobi atau hal yang digemari, atau curhat ke orang terdekat.
Jalinlah komunikasi yang baik dengan orang-orang terdekat yang sekiranya dapat dipercaya menjadi pendengar aktif yang baik dan dapat memberikan dukungan emosional yang cukup. (am/red)