Oleh: Jerry Bambutta
Secara ideal, politik seharusnya menjadi jalan merebut dan mengelola kekuasaan yang akan digunakan dengan amanah untuk kesejahteraan publik. Dan di dalamnya tidak ada perlakukan diskriminatif terhadap perbedaan identitas agama, etnis atau kelompol sosial. Idealnya, politik mengelola kebijakan publik melalui pusat dan instrumen kekuasaan dengan mengedepankan kesetaraan, kemanusiaan dan keadilan.
Sayangnya, secara praktis-realistis, banyak kali kita jumpai malah sebaliknya yang terjadi. Politik hanya menjadi jalan untuk berkuasa tapi tidak menjadi jalan untuk membangun kesetaraan, kemanusiaan dan keadilan yang konkrit.
Polarisasi faksi dukungan politik menjalar masif dari tingkat akar rumput hingga ke tingkat elit. Tidak segan-segan, sampai eksploitasi politik identitas yang bersifat eksplosif dan destruktif pun gencar dilakukan. Benturan dan konflik horizontal beraroma SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) tidak terelekan.
Sangat disayangkan, karena sebenarnya realitas konflik berbasis SARA adalah “grass roots conflict” yang sengaja dipicu para “man behind the scene”.
Mereka adalah sosok yang sudah kehilangan hati nurani dan sikap negarawan. Konflik tersebut kerap kali hanya bidak untuk menekan kekuasaan agar bisa mencapai tujuan pribadi atau kelompok. Sekalipun akan ada darah dan air mata para jelata yang menjadi tumbal memuluskan jalan kekuasaan.
Secara rasional, konsolidasi kekuatan politik tidak akan terlepas dari politik identitas. Karena politik akan selalu bergerak dengan identitas kepentingan politik tertentu. Tetapi, kita wajib punya kepekaan nurani dan logika yang kritis dalam memilah dan memberi batas atas dampaknya yang bersifat rasional atau overdosis. Kadar overdosis dari politik identitas karena sudah berpotensi mencederai persatuan semesta sebuah bangsa, bahkan berpotensi memicu disintegrasi bangsa.
Kultur politik yang kehilangan kewarasan demokrasi hanya akan membuat politik menjelma menjadi “senjata pemusnah” terhadap eksistensi sosial masyarakat. Gorengan politik identitas yang mempolarisasi antara kelompok mayoritas dan minoritas secara destruktif adalah pengkhianatan yang biadab terhadap konsensus kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Gorengan politik identitas berbasis SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang dibumbui aroma destruktif akan memicu terjadinya balkanisasi dalam internal negara. Pengotak-ngotakan berbasis kelompok identitas akan masif terbangun dan secara otomatis membuat lunturnya persatuan semesta sebuah negara. Dan jika demikian, maka upaya kolonisasi asing menguasai sumber daya vital negara akan dengan mudah dapat dilakukan.
Mengutip sebuah perkataan dari mendiang Bapak Bangsa, Gus Dur, ia berucap bahwa “Di atas politik, harus menjunjung kemanusiaan.”
Kemanusiaan tidak bisa dipisahkan dari realitas pluralisme yang saling menghargai dan bertoleransi dalam setiap perbedaan agama, etnis dan kelompok sosial apapun. Mendiang Gus Dur dikenal sebagai bapak bangsa pejuang kemanusiaan karena konsep politiknya dibangun secara solid dari tiga sendi, yaitu ke-islaman, ke-indonesi-an dan kemanusiaan.
Tiga sendi itu yang membuat filosofi kebangsaan Gus Dur begitu sejuk menjadi perekat solidaritas kebangsaan. Dan menurut saya, ketiganya adalah warisan kebangsaan yang harus kita rawat dan lestarikan bersama.
Keputusan memeluk agama adalah hak personal yang paling asasi. Sedangkan tanggung jawab moral dalam merawat solidaritas bangsa adalah beban universal yang wajib dihayati oleh setiap warga negara, apapun agamanya, sukunya atau kelompok sosialnya.