Balai Lao Tumaļada (BLT)

Penulis, Ronny Serang.

Dampak bengis Corona tidak hanya menghantam dunia kesehatan, tapi juga memporak- porandakan ekonomi.

Sehingga ‘memaksa’ pemerintah putar otak memberikan stimulus untuk menggairakan ekonomi maupun menjaga ‘imun’ warga yang terdampak, salah satunya Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari dana desa.

Seperti daerah lain di tanah air ini, di Kabupaten Kepulauan Sangihe, sengkarut cerita pembagian BLT mulai dari semrawutnya data penerima sampai penerima dimonopoli oleh oknum- oknum kepala desa dan perangkatnya dengan memasukan istri, suami, anak, cucu, sepupu dan sanak saudara lainnya dan mengabaikan mereka yang sangat membutuhkan bantuan dan berhak menerima karna tidak masuk dalam golongan mereka (Kepala Desa).

Bacaan Lainnya

Kesemrawutan ini nampak dari keluhan warga yang menghiasi laman- laman media sosial dengan berbagai opini dari hanya sekedar mempertanyakan dasar penentuan penerima sampai membandingkan yang berhak tapi tidak menerima haknya dan sebaliknya, menjadi trending topic. Bahkan cerita BLT ini tidak hanya mengalahkan berita semakin banyaknya orang yang terinfeksi corona tapi juga mengalahkan ketenaran drama Korea saat ini yang banyak digandrungi emak- emak berdaster sampai yang nge-dress walaupun tidak sedikit juga papa muda doyan nonton drakor ini– hehehe.

‘Kekacauan’ pembagian BLT ini terjadi mana kalah dalam penentuan data penerima dibumbuhi rasa suka tidak suka dari kepala desa dan perangkatnya sehingga mengabaikan azas kelayakan dan kepatutan mereka yang berhak menerima dengan menjalan praktek “Balai Lao Tumaļada- BLT” ( Kepada Siapa Kepala Desa Berkenan), tentu tindakan ini menodai rasa kemanusiaan ditengah hantaman ‘badai’ yang melanda 200an negara di dunia.

Memang agak miris apabila ada oknum kepala desa yang tega main- main dengan bantuan terhadap warganya yang membutuhkan maka disitu kadang saya merasa sedih.

Bahkan sangat menggelitik, masih ada pemasungan bagi hak warga layak menerima hanya karena bukan pendukung atau tidak memilih sang kepala desa, praktek kotor ini menjadi lebih ‘terkutuk’ ketika lembaga Majelis Tua Kampung (MTK) diharapkan menjadi dewa penolong tidak melakukan apa- apa selain diam dan mengamini tindakan tak terpuji ini. Adanya paradigma jahat itu saya teringat pameo tua Sangihe; Mesuang Baļenguhe Menipong Suwu- suwu (Menanam Angin Menuai Badai).

Namun, saya harus mengapresiasi dan ingin makan bobengka bersama mereka (Kepala desa) yang punya nurani dan berjiwa besar, membuang ego dan meletakan sisi humanis paling depan serta sungguh- sungguh bekerja untuk warganya sesuai dengan amanah.

Kita berdoa bersama agar wabah ini cepat berlalu.

Malungsemahe..!!!

Penulis:
Ronny Serang

Pos terkait