Jan Engelbert Tatengkeng. Foto: istimewa. |
Nama lengkapnya Jan Engelbert Tatengkeng, lahir dari pasangan Hambali Tatengkeng seorang guru injil dan Lijdia Bangonan pada 19 Oktober 1907 di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara.
Sebagai seorang yang gemar menulis ia menjadi mempimpin surat kabar pemuda Kristen Sangihe yang bernama surat kabar Tuwo Kona (Tahuna), kemudian Soeara Oemoem (Surabaya), dan Pemimpin Zaman (Tomohon).
Di sanalah kehidupan sastranya mulai menyebar luas melalui saling berkirim surat dengan sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana yang memasukan karangannya ke Majalah Poedjangga Baroe. Dari sanalah kumpulan sajak Rindu Dendam terbit pertama kali oleh Christelijke Drukkerij “Djawi”di Surakarta.
Pada 1940 ia kembali ke Sangihe bersama dengan keluarganya dan dipanggil menjadi kepala sekolah di Schakelschool Ulu Siau. Namun demikian pada 1941 ia harus kembali ke Sangihe lagi untuk mengepalai HIS (Hollands Inlandsche School).
Tahun 1943 merupakan saman peralihan kekuasaan wilayah jajahan dari Belanda ke Jepang sebagai penguasa Asia yang baru. Tentu tantangan kehidupan baru telah datang menggerogoti segenap rakyat pribumi waktu itu. Oleh pemerintah Jepang, J.E. Tatengkeng dipanggil ke Siau untuk mengajar bahasa Jepang karena kemampuan bahasa Jepangnya sangat baik pada waktu itu.
Tak hanya sebagai seorang guru dan sastrawan, Jan Engelber Tatengkeng juga terlibat aktif dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Ia terlibat mendirikan organisasi badan perjuangan yang disebut dengan Barisan Nasional Indonesia.
Dan pada tahun 1947 ia menjadi direktur Normaalschool di Tahuna sampai sekolah tersebut berubah menjadi Sekolah Menengah.
Tulisan ini sumber lengkapnya baca barta1.com: J.E TATENGKENG PENGABDIAN DAN LOKALITAS SASTRA (19 Oktober 1907 – 6 Maret)