Webinar IBS-MTT Bahas Keuntungan RI Ambil Alih Kendali Udara di Natuna dari Singapura

webinar ibs-mtt
Webinar IBS-MTT (tangkapan layar Zoom)

BININTA.COM – Indonesia mengambil alih ruang udara di Kepulauan Riau dan Natuna dari Singapura melalui perjanjuan FIR Realignment pada 25 Januari 2022. Apa keuntungan dari pengambilalihan ruang udara ini terhadap Indonesia?

Lembaga Think-Tank yang fokus pada isu perbatasan, Institute for Border Studies Millenial Think-Tank (IBS-MTT) membahasnya dalam Webinar dengan tema “Ambil Alih Kendali Udara di Natuna dari Singapura: Apa Untungnya?” pada Sabtu (12/3/2022).

“Webinar ini secara khusus membahas terkait Pengambilalihan Ruang Kendali Udara Natuna dari Singapura, kerja-kerja politik luar negeri dan diplomasi yang butuh kesabaran, ketelitian dan semangat dengan puluhan kali perundingan yang telah dilakukan pemerintah serta berbagai pihak,” kata Founder & President IBS-MTT, Harsen Roy Tampomuri.

Bacaan Lainnya

Harsen mengatakan, pelaksanaan webinar ini agar masyarakat khususnya para generasi muda, memahami implikasi dari perjanjian ini terhadap Indonesia.

“Yang tak kalah penting untuk kita pahami bersama sebagai masyarakat Indonesia khususnya para generasi muda, apa untungnya untuk Indonesia dan apa tantangan tetapi juga peluang yang kita dapatkan dari Agreement on the realignment of the boundary between jakarta FIR and Singapore FIR,” ujarnya.

Webinar yang dilaksanakan via ZOOM tersebut menghadirkan sejumlah pakar di bidang Hubungan Internasional, Hukum Udara dan Angkasa serta Geopolitik dan Astropolitik.

Sementara mewakili Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI adalah Asisten Deputi  Pengeleloaan Batas Negara Wilayah Laut dan Udara, Siti Metrianda Akuan, ST, M.Si, yang juga sebagai pemateri pertama. 

Siti Metrianda dalam pemaparannya menyebut tugas BNPP dalam pengelolaan perbatasan, yakni kelola batas negara, kelola lintas batas negara dan kelola pembangunan kawasan perbatasan negara.

Tugas BNPP ini dilaksanakan melalui koordinasi dengan sejumlah kementerian dan lembaga.

“Perbatasan tidak hanya mencakup BNPP tapi bersama 27 Kementerian/Lembaga dan provinsi kawasan perbatasan negara,” kata Siti Metrianda.

Terkait dengan Flight Information Region (FIR) atau ruang kendali udara yang menjadi topik webinar, Siti Metrianda menjelaskan Indonesia kini sedang mengelola dua area FIR, Jakarta dan FIR Ujung Pandang/Makassar.

Menurut Siti Metrianda, melalui FIR realignment antara Indonesia dan Singapura maka Indoneisa mendapatkan beberapa keuntungan.

“Pengambilalihan ruang udara Indonesia sebesar 249.575 km2, dukungan kerahasiaan dan keamanan kegiatan pemerintah Indonesia (TNI, POLRI, Bea Cukai), efisiensi jalur penerbangan hingga efisiensi pergerakan pesawat, dan peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berupa pungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan,” ungkap Siti Metrianda.

Sementara itu, Dekan Fakultas Humaniora President University (Dosen Hubungan Internasional) dan selaku Badan Pengkajian MPR RI, Endi Haryono, SIP, MA dalam pemaparannya menekankan Kerja Sama Pengelolaan Ruang Udara terutama antara Indonesia dan Singapura.

Menurut Endi, wilayah darat, wilayah laut dan ruang udara haruslah menjadi media yang menyatukan dan menyejahterakan manusia.

Ketiganya tidak perlu menjadi hal yang memicu konflik dan permusuhan. Karena demikianlah seharusnya Norma Baru dari dunia yang global dan satu.

“Perbatasan ini dimanapun tidak lagi dikontrol secara ketat sebagai sesuai memisahkan. Batas wilayah adalah suatu titik imajiner yang dibuat kolonial,” jelas Endi.

Menurutnya, persoalan FIR yang sempat ramai diperbincangkan, bukan hanya mengenai kedaulatan melainkan juga bersifat teknokratis dan aspek keselamatan.

“Keselamatan dan kerja sama penerbangan lebih efisien harus diperhitungkan. Perjanjian ini bersifat teknokratik, perjanjian untung rugi jasa pelayanan diberikan kepada siapa dan masuk ke siapa,” tutur Endi.

Meskipun 29 persen wilayah udara Indonesia (di bawah 37.000 kaki) pengelolaan masih dilakukan oleh otoritas Singapura, menurut Endi wajar jika sebatas kontribusinya selain konteks penerbangan tetapi keselamatan dalam konteks manusia.

“Indonesia juga Mengelola Ruang Udara Negara lain, yakni Ruang Udara RTDL (dikelola AirNav Ujung Pandang) dan Pulau Christmas (dikelola AirNav Jakarta),” pungkasnya.

Dekan FISIP Universitas Bung Karno dan Pendiri Pusat Kajian Geopolitik & Astropolitik, Franky P. Roring, M.Si, yang hadir sebagai nara sumber memulai pemaparannya dengan tujuan pembagian FIR.

Menurut Franky pembagian FIR untuk menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh negara-negara yang tergabung dalam International Civil Aviation Organization (ICAO).

Indonesia sendiri telah menjadi negara anggota ICAO sejak April 1950 dan telah diratifikasi dalam UU Nomor 15 Tahun 1992 dengan UU Nomor 1 Tahun 2009 yang mengacu pada Konvensi Chicago 1944.

Lanjut Franky, perundingan FIR Kepri dan Natuna antara Indonesia dan Singapura telah dimulai  sebelum Indonesia merdeka dan mulai dari pengaturan atas sebagian wilayah ruang udara Indonesia dengan Inggris yang kemudian dilanjutkan Singapura.

Kemudian sejak tahun 1995 pemerintah berusaha mengupayakan pengaturan ruang udara di atas kepulauan Riau dan Natuna. “Tetapi, perjanjian tentang FIR Indonesia dengan Singapura tidak pernah bisa berlaku efektif,” kata dia.

Franky melanjutkan, Pertemuan Indonesia dan Singapura sudah berlangsung selama lebih dari 40 kali yang melibatkan lintas Kementerian dan Lembaga. Hingga akhirnya Indonesia menguasai 249.575 Km2 melalui penandatanganan MoU FIR Re-alignment antara kedua negara pada 25 Januari 2022.

Dengan demikian, luas 249.575 km2 ruang udara Indonesia yang selama ini masuk dalam FIR negara lain (FIR Singapura), akan diakui secara internasional sebagai bagian dari FIR Indonesia (FIR Jakarta).

“Kesepakatan FIR Indonesia-Singapura merupakan bagian penting dari usaha pencapaian kepentingan nasional Indonesia, dalam bidang Keamanan (SECURITY) dan Keejahteraan (PROSPERITY),” jelas Franky.

Menurutnya, Indonesia mendelegasikan sepertiga wilayah kepada Singapura adalah keputusan rasional.

“Pengakuan FIR untuk mendelegasikan kepada Singapura 29 persen cukup rasional. Kepentingan Indonesia ada di Singapura, dan kepentingan Singapura ada di Indonesia. Meskipun memiliki kekurangan, perlu diapresiasi,” sambungnya.

Di akhir pemaparannya, Franky menyimpulkan bahwa kesepakatan FIR di Riau dan Natuna, merupakan pengakuan kedaulatan Indonesia di udara, yang tidak bagi kepentingan keamanan namun juga nilai ekonomi. “Tentu pelaksanaanya harus ditingkatkan pengelolaannya dan harus dievaluasi,” tutupnya.

Webinar IBS-MTT juga menghadirkan Pakar Hukum Udara dan Angkasa sekaligus Dosen Fakultas Hukum UI, Alif Nurfakhri Muhammad, LL.M.

Alif fokus pada penjelasan terkait landasan hukum internasional pembentukan wilayah udara suatu negara dalam menganalisis FIR Indonesia-Singapura, yakni Konvensi Chicago 1994 dan UNCLOS 1982.

Dengan ditandatanganinya perjanjian antara kedua negara tahun 2022 ini, maka Indonesia akan mengelola 29% Ruang Udara pada wilayah FIR Singapura, yakni ruang udara yang masuk ke dalam kedaulatan Indonesia. Sementara Singapura akan tetap mengelola FIR Singapura pada ketinggian 0 hingga 37.000 kaki, dan pada radius 90 nm yang mencakupi wilayah udara di sekitar Singapura.

Hal ini menurut Alif cenderung bertentangan dengan Annex 11 Konvensi Chicago 1944, karena memotong satu Flight Information Region menjadi dua region tidak bersambung yang dikelola oleh satu ATC. FIR Singapura akan terbelah menjadi Ruang Udara Singapura hingga ketinggian 37.000 kaki, dan Ruang Udara di atas Laut Cina Selatan. Kondisi ini berpotensi tidak disetujui dalam mekanisme RAN Meeting ICAO sebagai otoritas yang dapat memutus pembagian dan batas – batas Flight Information Region.

Selain itu menimbulkan beban terhadap APBN untuk instalasi perangkat navigasi inbound – outbound (approach) ke dan dari Changi Airport.

“Kita harus menyiapkan perlengkapan navigasi baru sangat mahal harganya yang bisa menimbulkan beban ke APBN,” jelas dia.

Namun pendelegasian 29 persen ruang udara Indonesia ke Singapura, kata Alif, sudah sesuai dengan interpretasi pasal 28 konvensi Chicago 1994. Selain itu, adanya “Pelaksanaan Kedaulatan Negara” berupa Swakelola Pelayanan Navigasi Udara di Wilayah Indonesia dan PNBP bagi negara sebagai hasil penyediaan jasa navigasi udara.

“Indonesia memiliki kendali operasional pada ruang udara yang didelegasikan dan Perjanjian Kerjasama CMC ATC Singapura – Indonesia menjamin prioritas bagi penerbangan militer,” kata Alif.

Oleh karena itu, dia merekomendasikan langkah eksternal yang dapat diikuti pemerintah Indonesia melalui pendekatan Multilateral sebagaimana tertuang dalam ICAO DOC 8144, Appendix 2 yakni Amendments of Regional Plans & Supplementary Procedures, termasuk perjanjian Realignment FIR, dan Request for States to introduce co-operative measures with other States.

Selanjuntya adalah pendekatan Bilateral, yakni dengan Implementasi CMC Framework dan penyusunan framework pemberian izin terbang untuk kepentingan Diplomatic, Security, & Flight Clearance bagi pesawat udara non-scheduled yang melintas di Ruang Udara Indonesia yang pengelolaannya didelegasikan ke ATC Singapura.

Sementara untuk langkah internal, Alif merekomendasikan pengesahan ratifikasi, baik melalui Keppres atau Undang – Undang), meninjau ulang kondisi FIR Kota Kinabalu dan melakukan kajian Undang – Undang Penerbangan Pasal 458.

Setelah selesai pemaparan para narasumber, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Peserta webinar tampak antusias memberikan pertanyaan seputar materi yang disampaikan.

Webinar IBS-MTT diikuti oleh sejumlah organisasi mahasiswa dan pemuda yang berasal dari daerah perbatasan se-Indonesia dan akademisi serta praktisi.

Rangkaian acara ini dipandu Blessy Tangel, Vice-Director of Arts and Culture of IBS-MTT. Sementara Vice Director of Transnational Advocacy Network of IBS-MTT, Praise Tampi, bertindak sebagai moderator.

(Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *