Mengagumkan, indah dan menawan. Itulah kesan pertama ketika kita menginjakkan kaki di salah satu pulau terluar Kabupaten Kepulauan Sangihe yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina.
Pulau Matutuang Kecamatan Kepulauan Marore, pulau dengan panorama cantik ini, awalnya hanya tempat persinggahan atau tempat tinggal sementara (medaseng dalam bahasa Sangihe) para nelayan pendatang dari Philipina. Mereka adalah warga negara Indonesia yang lahir dan lama menetap di Philipina dan sebagian dari daratan Sangihe maupun pulau- pulau kecil disekitarnya, kemudian menjadi penduduk tetap pulau eksotis dengan luas 34 hektare ini.
Secara geografis, Pulau Matutuang sebelah utara berbatasan langsung dengan negara tetangga Philipina, timur dengan Kabupaten Kepulauan Talaud dan sebelah barat dengan laut Sulawesi. Sebelumnya Pulau Matutuang merupakan anak desa Pulau Marore, namun pada tahun 2008 dimekarkan dan resmi secara administratif menjadi desa dengan mayoritas penduduknya sebagai nelayan dan untuk transportasi baik dari ibu kota kabupaten maupun pulau di sekitarnya menggunakan kapal milik Pelni dengan rute dua minggu sekali.
Saat ini, sebagai desa definitif Pulau Matutuang dihuni oleh 127 Kepala Keluarga (KK), 416 jiwa. Tentu dengan adanya pertumbuhan penduduk maka ada kebutuhan dasar warga yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe,
Salah satunya adalah pendidikan. Pulau Matutuang saat ini telah memiliki Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama ( SMP). Akan tetapi salah satu kendala daerah perbatasan yaitu tidak banyak guru yang bukan dari daerah setempat mau mengabdi atau menetap dengan jangka waktu yang lama.
Namun demikian, stigma daerah perbatasan dengan segala keterbatasannya, tidak menjadi alasan dan kendala bagi seorang anak muda untuk mengabdikan diri dengan penuh totalitas demi mencerdaskan anak bangsa yang ada di etalase Indonesia.
Anak muda berusia (25), bernama Savelia Viane Warouw, S.Pd merupakan guru mata pelajaran IPA di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Satu Atap (Satap) Tabukan Utara yang ada di Pulau Matutuang.
Dari marganya saja kita bisa menebak bahwa dia tidak berasal dari Matutuang. Walaupun tidak berasal dari Matutuang dan baru satu tahun terakhir ditempatkan sebagai guru namun dengan komitmen yang kuat dan hati tulus menjalankan amanah, wanita kelahiran Kecamatan Kakas Minahasa ini, mampu menembus kerasnya keterbatasan dan kondisi perbatasan disertai penyangkalan diri yang luar biasa dengan tetap menjalankan tugasnya sebagai pendidik yang penuh tanggungjawab.
“Memang awalnya tidak mudah bagi saya, waktu pertama kali datang dan ditempatkan disini (Pulau Matuatuang) untuk menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi baru dan asing bagi saya.
Tantangan pertama adalah air, karena disini susah air, itu tantangan awal yang harus saya taklukan dan puji Tuhan sampai saat ini saya mampu menyesuaikan keadaan dan semakin betah disini,” tutur cewek berkulit putih ini.
Selain tantangan situasi dan kondisi lingkungan, tantangan tak kalah menarik menurut darah cantik, ramah dan murah senyum ini adalah masalah bahasa disaat dirinya berada di depan kelas karena keadaan siswa dari perpaduan orang tua Philipina- Sangihe (PISANG).