Kita perlu belajar dari Bali. Di sana ada ratusan ribu pendatang yang datang menetap, tetapi sangat sulit bagi mereka untuk dapat membeli tanah. Pemerintah dan masyarakat adat hanya memberi hak bagi para pendatang untuk menyewa, baik tanah maupun rumah.
Sampai-sampai untuk dapat memperoleh tanah di Bali, para pengusaha mancanegara harus mengawini terlebih dahulu perempuan-perempuan Bali. Hasil dari strategi ini, masyarakat petani Bali masih tetap memiliki tanah sendiri, memperoleh hasil dari lahan pertanian milik mereka sendiri, serta mendapatkan hasil lain dari penyewaan aset .
Di Bali, kedaulatan budaya dan sosial ekonomi tetap dimiliki masyarakat lokalnya. Masyarakat Bali tetap menjadi masyarakat yang solid meski setiap tahunnya didatangi oleh jutaan pendatang dari berbagai penjuru dunia yang hadir membawa bermacam latar belakang budayanya.
Di Bali juga, kita bisa melihat masyarakat lokal dapat hidup tentram dan sejahtera, tanpa ada ketakutan dan kecemburuan terhadap para pendatang. Mengapa? Karena mereka masih berdaulat baik secara sosial, budaya dan ekonomi, di tanahnya sendiri.
Bagaimana sebuah masyarakat tetap berdaulat atas ruang sosialnya ditentukan oleh strategi sosial yang mereka terapkan. Sayangnya di kota Melonguane, saya tidak melihat ada strategi sosial yang diterapkan oleh Pemerintah dan masyarakat adat untuk melindungi masyarakatnya sendiri.
Kota Melonguane bergerak dengan hanya mengikuti arus kebudayaan umum berdasarkan insting alamiah, yang digerakkan oleh kebutuhan-kebutuhan jangka pendek. Keadaan ini demikian rentan, hingga sangat mudah dikendalikan bahkan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial dan ekonomi besar.
Selain itu, apa yang terjadi di Melonguane dewasa ini, mengindikasikan tidak menyatunya pemimpin dan masyarakat, baik secara formal maupun adat. Persatuan hanya terlihat dalam hal-hal yang bersifat formal-ritualistik seumpama peribadatan.
Namun di luar itu, para pemimpin Melonguane baik formal maupun non-formal terfragmentasi dalam memenuhi kepentingan keluarga, karir, jabatan politik dan kelompoknya dibanding memikirkan masa depan kota Melonguane.
Terlepas dari semua itu, jika setiap orang yang hidup dan tinggal di Melonguane merasa memiliki Melonguane, maka ia perlu memikirkan keberlangsungan kota ini. Masyarakat lokal perlu mendapat proteksi. Karena itu sebuah langkah penting harus diambil.
Saya menyebutnya sebagai sebuah strategi sosial. Strategi sosial pertama berupa penghentian penjualan tanah dan mengalihkannya dengan memberlakukan sistem sewa.
Ini dapat dilakukan dengan membuat keputusan baik peraturan pemerintah di tingkat kecamatan dan kelurahan serta lewat peraturan adat untuk menghentikan penjualan tanah di wilayah administratif Melonguane. Hal ini pasti dapat dilakukan.
Yang kedua, warga kota Melonguane perlu memiliki kedaulatan ekonomi atas kotanya sendiri. Hal ini tentu saja dengan membangkitkan jiwa kewirausahaan di kalangan masyarakat.
Masyarakat lokal perlu didorong untuk membangun usaha dalam bentuk apapun demi menghidupi keluarga dan menjamin masa depan anak-cucunya. Jika warga lokal sejahtera, otomatis stabilitas kota terjamin, dengan demikian para penduduk barupun dapat hidup dengan aman, nyaman dan berbaur dalam kesetaraan.
Yang ketiga, kota Melonguane perlu membangun jati diri yang khas. Saya melihat adat masih memiliki pengaruh yang kuat di Melonguane. Hal itu terlihat bagaimana masyarakat masih bisa dihimpun dalam kelompok-kelompok adat berdasarkan hubungan kekerabatan. Kita menyebutnya dengan “Rruangan”. Ini perlu diperkuat dan menjadi basis budaya Melonguane.
Dan akan lebih kuat lagi jika “Rruangan”, sama seperti di daerah-daerah adat lain memiliki daya paksa untuk mengatur setiap anggotanya. Pemimpin adat dapat memberlakukan aturan setiap orang yang tinggal di Melonguane harus masuk menjadi anggota salah satu “Rruangan”.
Sesudahnya, peraturan adat seperti Ehat/eha dapat diterapkan dan menjadi memberi warna di kota Melonguane. Mengenai stigma bahwa adat anti kemajuan, kita bisa membandingkan kembali dengan Bali. Di Bali, segala sesuatu beraroma adat, bahkan Bali tidak bisa lepas dari adat. Namun tak satupun orang yang memberi cap Bali dengan adatnya, sebagai anti kemajuan.
Yang keempat, tentu perlu dibuka ruang-ruang diskusi mengenai persoalan sosial kultural di antara masyarakat secara terbuka dan setara. Hal itu dapat dimotori oleh Pemerintah di tingkat kecamatan dan kelurahan serta tokoh-tokoh masyarakat Melonguane yang kini duduk sebagai pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, para anggota DPRD, rohaniwan, para pengusaha maupun tokoh adat.
Tokoh-tokoh masyarakat tidak boleh berpangku tangan dan membiarkan keadaan bergerak secara sporadis seperti sekarang ini. Bila sebagian warga terpandang Melonguane, telah memiliki kedudukan sosial dan kemampuan ekonomi memadai, maka selayaknya mereka bertanggung-jawab dengan menjadi sumber inspirasi dan motivator bagi masyarakat di sekelilingnya untuk bergerak lebih maju lagi.
Setiap tokoh dapat menjadi katalisator bagi perkembangan Melonguane menjadi kota dengan masyarakat yang lebih sejahtera dan beradab.
Akhirnya, Jangan biarkan keadaan bergerak seperti sekarang, tanpa ada yang peduli, lalu membiarkan Melonguane di satu titik menjadi tempat menampung air mata sesal yang tak berguna.
Dan, jangan biarkan nasi menjadi bubur, lalu kitapun berkata, “ mau bagaimana lagi, sudah terlambat!”.
Pertama kali publish pada 25 Maret 2013.
Penulis:
Alfred Pontolondo
(Pekerja Seni/Pemerhati Sosial)