|
Kantor International Criminal Court, Den Haag. Foto: Vysotsky (Wikimedia) |
INTERNASIONAL, BININTA.COM – Sekelompok pengacara mendatangi kantor Kantor Jaksa International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Peradilan Internasional di Den Haag Belanda, Kamis (10/6/2021).
Kedatangan para pengacara spesialis Hak Asasi Manusia (Ham) itu adalah untuk menyerahkan bukti baru penyelidikan atas dugaan tindak kejahatan luar biasa yang dilakukan otoritas China terhadap etnis Uighur di Tajikistan.
Ini adalah upaya terbaru untuk menyeret China agar diselidiki ICC setelah pada Desember tahun lalu, Jaksa ICC menolak permohonan penyelidikan dengan alasan bahwa China bukan anggota ICC sehingga ICC tidak memiliki Yurisdiksi atas urusan internal negara itu.
Sehingga bukti yang mereka serahkan hari ini diharapkan menjadi legitimasi penetapan yurisdiksi peradilan global untuk mengadiili otoritas China atas tuduhan tindak kejahatan luar biasa.
Dalam sebuah pernyataan bersama, para pengacara itu mengungkapkan, dari bukti yang diperoleh dari kesaksian para saksi dan penyelidikan di negara-negara termasuk anggota ICC Tajikistan, mereka menemukan bahwa etnis Uighur telah menjadi sasaran penangkapan, dan dihilangkan secara paksa dan dideportasi dari Tajikistan ke wilayah Xinjiang barat China oleh “operator” China.
Mereka mendesak agar Jakasa ICC kembali membuka penyelidikan kasus ini karena tempat dimulainya tindakan kehajatan luar biasa di Xinjiang, yang notabene adalah anggota ICC.
“Pihak berwenang China telah melakukan intervensi langsung di Tajikistan. Oleh karena itu ICC memiliki yurisdiksi atas tindakan yang dimulai di Tajikistan dan berlanjut ke China dan mendesak jaksa ICC untuk membuka penyelidikan,” demikian pernyataan mereka, dikutip dari Associated Press, Kamis (10/6/2021).
Adapun preseden hukum didasari pada pertimbangan bahwa panel hakim ICC memutuskan membuka penyelidikan terhadap deportasi massal dan penganiayaan terhadap orang-orang Rohingnya oleh pasukan tentara Myanmar yang membuat mereka melintasi perbatasan ke negara tetangga, Bangladesh, sementara Myanmar bukan anggota ICC seperti China, dan Bangladesh adalah anggota ICC layaknya Tajikistan.
“Pengadilan dapat menjalankan yurisdiksi atas kejahatan ketika bagian dari tindakan kriminal terjadi di wilayah Negara Pihak,” tulis mereka dalam pernyataan bersama itu.
Sehingga mereka mendorong Jaksa ICC untuk melihat kasus deportasi massal ribuan warga Uighur dari Tajikistan dan Kamboja ke China seperti kasus Rohingnya, dan ikut menyelidiki dugaan genosida yang dilakukan pemerintah China.
Upaya para pengacara ini menyusul diadakannya “pengadilan rakyat” di London, Inggris, pekan lalu untuk mengadili apakah dugaan pelanggaran hak-hak China terhadap orang-orang Uyghur merupakan genosida.
Para saksi dalam persidangan itu menuduh bahwa ‘narapidana’ etnis Uighir yang ditahan di kamp-kamp penahanan kerap kali dipermalukan, disiksa dan dilecehkan.
Pengadilan yang dihadiri kalangan pengacara, akademisi, dan pebisnis ini, tidak didukung pemerintah Inggris dan tidak berkekuatan hukum untuk memberi sanksi atau menghukum China.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah China telah dituduh memenjarakan lebih dari 1 juta orang dari etnis Uyghur di kamp-kamp pendidikan ulang di wilayah Xinjiang barat China, menerapkan kerja paksa, melaksanakan pengendalian angka kelahiran, melakukan penyiksaan dan memisahkan anak-anak dari orang tua.
Beijing menolak semua tuduhan ini. Para pejabat China beralasan bahwa kamp-kamp tersebut adalah pusat pelatihan kejuruan untuk mengajarkan bahasa China, keterampilan kerja dan hukum untuk mendukung pembangunan ekonomi. Diamping itu, untuk memerangi ekstremisme, terutama pasca gelombang serangan teror di Xinjiang sepanjang tahun 2016.
(red)