|
Area Persawahan Tondano (ist). |
Tinjauan Perubahan Paradigma Masyarakat Desa Dalam Puisi Berjudul “Nda Ada Jiwa Batani” karya Sandy M. Merentek
Orang Minahasa selain dikenal sebagai masyarakat berburu juga adalah masyarakat bertani. Sejak melakukan kontak dagang terutama beras (padi ladang) orang Belanda menyebut masyarakat ini sebagai bergboeren.
Dalam amanat Watu Pinawetengan pun ada perintah bagi orang Minahasa untuk membuka wilayah baru.
Itu bisa ditemukan dalam kalimat tumani e kumeter. Kata ‘tumani’ yang diartikan sebagai tindakan untuk membuka wilayah-wilyah baru sebenarnya secara etimologis berasal dari kata ‘tani’ yang mendapat infiks ‘um’ yang membentuk kata kerja aktif.
Di Minahasa bagian selatan, para pendiri kampung disebut orang yang melakukan tumani, walaupun kadang itu merujuk pada praktek ritual pendirian ro’ong/wanua.
Sebenarnya banyak kampung yang didirikan di bagian selatan dari perkebunan-perkebunan baru yang dibuka oleh orang Minahasa. Minahasa sudah dikenal sebagai masyarakat tani yang menghasilkan komoditi, seperti kopra, cengkih, pala, kopi, dan belakangan cap tikus.
Sejak tahun 2000, Kota Manado telah menarik perhatian masyarakat desa Minahasa karena modernisasi. Orang berbondong-bondong ke kota mengadu nasib dan menikmati ‘keindahan dunia kota’. Menjadi bagian masyarakat perkotaan tentu menjadi prestise tersendiri bagi orang-orang yang berasal dari desa.
Tentunya pengetahuan, trend, informasi terbaru lebih dahulu dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan. Ketika tiba hari-hari raya arus mudik dari kota ke desa membawa warna tersendiri. Orang-orang desa memandang mereka yang baru datang dari kota memiliki ‘kilau’ istimewa. Orang-orang dari kota memandang remeh orang-orang desa dan kadang disertai dengan ujaran mengejek. Sekalipun orang-orang dari kota ini awalnya berasal dari desa.
Melakukan jasa pekerjaan di bidang jasa transportasi seperti supir mikrolet, sudah memiliki prestise, apalagi sekaligus memiliki mikroletnya. Gaya hidup perkotaan yang dianggap lebih berkelas membuat banyak orang mengimpikan hidup lebih layak di perkotaaan.
Dalam puisi berbahasa Melayu Minahasa berjudul “Nda Ada Jiwa Batani” karya Sandy M. Merentek, kita bisa melihat bagaimana terjadi perubahan paradigma generasi muda desa melihat pertanian. Berikut ini puisinya:
|
Puisi berbahasa Melayu Minahasa berjudul “Nda Ada Jiwa Batani”, karya Sandy M. Merentek |
Berangkat dari keadaan desa penulis, puisi itu ditulis tahun 2013 dan dipublikasikan di media sosial facebook. Pada bait pertama puisi itu muncul kata budel yang kurang lebih berarti harta berupa tanah yang diwariskan turun temurun dalam keluarga.
Ini mengungkap bahwa kegiatan bertani juga merupakan warisan turun temurun dalam keluarga. Kata
bageang (bagian) yang muncul di bait kedua juga berarti warisan tapi tidak seperti
budel yang sudah diwariskan dari beberapa generasi. Pada bait pertama, kedua, dan ketiga disebut hasil pertanian dan perkebunan yang telah diusahakan secara turun temurun.
Masyarakat Minahasa memang tidak melakukan praktek monokultur dalam pertanian karena dalam sebidang tanah pasti beragam tanaman. Ada yang memiliki tanah di daerah sungai pasti akan membuat tabu atau telaga kecil untuk memelihara ikan dan sayuran.
Alat-alat produksi yang disebut dari bait pertama sampai ketiga masih bercorak tradisional karena sudah puluhan tahun bahkan sebelum Indonesia merdeka telah menggunakan parang, cangkul, dan sekop.
Bait keempat puisi itu merupakan titik perubahan paradigma generasi baru Minahasa. Subjek dalam bait pertama sampai bait ketiga adalah seorang ayah yang mewariskan tanah dan alat-alat produksi dengan harapan anaknya akan meneruskan usaha pertaniannya.
Pada bait keempat subjeknya telah berubah dan yang menjadi subjek adalah seorang anak yang secara implisit menolak untuk bertani. Kapital berupa tanah yang akan diwariskan kepadanya dipandang lebih baik diubah menjadi alat-alat transportasi yang akan diusahakannya. Kalimat terakhir bait keempat menegaskan hilangnya semangat bertani sang anak. Apa yang menyebabkan hilangnya semangat itu? Kita perlu meninjau keadaan sosio-psikologi masyarakat desa terkait di mana puisi itu ditulis.
Pertanian identik dengan desa sedangkan kota identik dengan industri. Masyarakat tani digolongkan kolot sementara masyarakat kota dipandang intelek. Urbanisasi terjadi karena orang-orang ingin hidup dengan prestise tinggi biarpun menghalalkan segala pekerjaan di kota.
Mereka yang ke kota tapi tak mampu bersaing karena tidak punya keterampilan dan ijazah, khusus untuk kaum laki-laki, mengadu nasib dengan mengandalkan nyali dan kekuatan fisik. Perebutan wilayah-wilayah parkir di perkotaan membentuk geng-geng preman yang sampai saling membunuh satu sama lain.
Ada yang menjadi penagih hutang (debt collector), penjaga bar, dan hal lainnya yang dianggap bisa menghasilkan uang. Tidak jarang juga perempuan dari pedesaan mengisi pekerjaan wanita penghibur di club/pub/bar atau menjadi wanita panggilan di hotel-hotel.
Pekerjaan-pekerjaan halal di kota tidak bisa memenuhi kebutuhan manusia yang gaya hidupnya tinggi. Tetapi ada juga yang hidup dengan sangat sederhana tapi telah mengorbankan harga diri dengan melacur di jalanan.
Bekerja sebagai petani dianggap pekerjaan kasar dan melelahkan di bawah terik matahari yang menguras tenaga fisik berlebihan. Alat-alat produksi yang tergolong tradisional itu menjadi simbol kebodohan dan kaum rendahan. Sementara pekerjaan di kota adalah pekerjaan halus di bawah lampu neon dan AC yang dingin.
Itulah mengapa orang-orang memilih bekerja di tokoh-tokoh, supermarket, minimarket, dan hotel-hotel dari yang tidak berbintang sampai berbintang-bintang.
Sekalipun pada kenyataannya bertani lebih menguntungkan daripada kerja dengan gaji UMP tapi yang lebih menarik dan gaul adalah kerja di perkotaan.
Dalam puisi “Nda Ada Jiwa Batani” bait keempat adalah suatu refleksi bahwa anak-anak sekarang lebih berorientasi ke kota. Keinginan sang anak untuk menjual kapital tanah untuk dibelikan alat-alat transportasi karena kerennya menjadi supir mikrolet angkutan kota, supir taksi glap (black taxi), atau mengendarai sepeda motor sambil mengangkut penumpang yang banyak, diantaranya cewek-cewek cantik berbetis mungil dan indah.
Belum lagi dengan perkembangan sekarang ini jasa transportasi online yang lagi marak. Berapa banyak anak desa yang akan menjual tanah, rumah dan kintal untuk ambil bagian dalam persaingan merebut penumpang dan mencapai poin?
Dengan hilangnya semangat bertani, secara berangsur-angsur, maka akan hilang juga semangat batibo. Dari dulu, sebenarnya, orang Minahasa adalah produsen yang bertani sekaligus berdagang; artinya penghasil komoditas dan juga menguasai pasar. Tentunya ini di luar komoditas setengah jadi seperti cengkih, kopra, dan vanili yang harganya dikendalikan oleh pasar nasional dan internasional.
Orang Minahasa, dalam skala lokal, memproduksi gula merah, minyak kelapa, daging hasil buruan dan peternakan, ikan air tawar, rampah-rampah, dan sayur-sayuran. Tetapi sekarang ini semangat dan pengetahuan bertani dan berdagang kelihatannya menurun dan tak dikembangkan sehingga harus kalah bersaing dalam sistem ekonomi yang lebih modern.[]
|
Penulis: Swadi Sual |