Mengapa Beberapa Orang Melihat Kita seperti Tempat Sampah?

Penulis, Arief Balla. 

Sebuah kejadian menimpa saya. Sekira beberapa waktu lalu yang lalu. Sore dengan matahari yang masih terang itu, saya berhenti di perempatan lampu merah. Perempatan Jalan Kakatua dan Jalan Cendrawasih. Di Kota Makassar. Saya hendak berbelok ke kanan. Tapi saya berhenti dulu karena lampu merah.

Lampu berganti ke hijau. Dan saya membelok dengan weser kanan. Tiba-tiba, dari belakang saya seorang pengendara motor memepet. Seorang bapak berusia 40-50an. Sendiri.

“Woeee jangan ko halangi jalan.” Katanya marah dengan logat Makassar.

“Kenapaki?” Balas saya.

“Janganko halangi jalan SETANG!”

Saya merasa tidak menghalangi jalannya. Kendaraan tidak ramai sekali sore itu. Saya berjalan pada jalur yang seharusnya. Lagipula motor saya hanya Vega R dengan bodi ramping. Mana ada menghalangi jalan. Tentu cerita itu dilebih-lebihkan belaka pikir saya.

Tapi aneh juga, saya merasa tidak berminat meladeni orang tua ini. Saya malah bilang padanya.

“Iye baik-baikki.”

Saya sungguh mengatakan begitu dan berharap ia sungguh baik-baik saja. Saya melihat kemarahan sedang membakar tubuhnya. Saya yakin orang ini sedang dalam masalah. Entah apa.

Tapi alih-alih mengerem emosinya, ia malah mendekati saya lagi, meninju kepala helm saya, dan mencoba menjatuhkan dengan berusaha menarik tangan kiri saya. Dua kali ia melakukan percobaan yang sama. Hasil tetap saja sama. Gagal.

Dan aneh juga saya sungguh tak ada niat meladeni.

Secara hukum, orang tua ini dalam posisi bersalah. Tidak mematuhi aturan, memaki-maki dengan kasar dan berusaha mencelakakan saya.

Dan kalaupun saya meladeni dan kami berurusan dengan polisi dan ia hendak main curang, kejadian ini tak jauh dari rumah, masih dalam wilayah saya, tidak jauh dari tempat saya tinggal. Pak Kapolsek dan Pak Dandim adalah teman baik orang di rumah. Saya sering ke kantor mereka dan apalagi setelah pulang dari Amerika Serikat, kadang saya jadi pembicaraan. Paman saya yang rumahnya saya tempati adalah sahabat baik mereka. Tapi saya memilih tidak menggunakan kewenangan dan kebenaran saya itu.

Barangkali karena saya pikir sungguh buang-buang meladeni orang seperti ini. Dia mengatakan setan pada saya sebab bisa jadi memang itulah gambaran dirinya. Dan saya tidak punya waktu untuk orang-orang seperti ini. Sungguh percuma dan rugi jika saya menggunakan mulut saya hanya memaki atau menggunakan tangan saya memukul.

Barangkali juga karena sore itu sebenarnya saya sedang buru-buru. Teman baik Fulbright saya di California selama 3 minggu sedang berada di Makassar. Saya sudah berjanji akan membawakan pisang ijo. Makanan khas Makassar. Kalau saya meladeni orang ini saya akan terlambat padahal waktunya sempit. Di kemudian waktu, saya mensyukuri keputusan saya itu sebab dengan begitu bisa berkenalan dengan profesor dari UGM (Universitas Gadjah Mada) dan bahkan kami berdiskusi.

Dan barangkali alasan yang paling saya sadari, saya menyadari bahwa beberapa orang keluar dari rumah, kantor, dan tempat kerja lainnya dengan penuh sampah-sampah (kecewa, marah, sedih, gagal) dalam hatinya. Dan mereka butuh tempat sampah untuk membuangnya. Akhir-akhir ini di tengah pandemik Corona, barangkali emosi kita juga begitu mudah tersulut lalu marah dam situasi yang memang sulit ini.

Kita kemudian sering-sering menemui orang memaki di jalanan karena melihat orang itu tempat sampah dan ia merasa perlu mengeluarkan sampahnya.

Hari itu, saya menempatkan diri saya sebagai tempat sampah. Orang tua itu mungkin melihat saya sebagai tempat sampah dan ia memang butuh. Tidak apa-apa saya jadi tempat sampah yang berguna sore itu.

Dan ini bukan yang pertama. Pernah ada pula yang memaki-maki saya dengan kata-kata kasar. Ia mengajak, menghasut dan memprovokasi orang-orang membenci saya dan pada tingkatan tertentu mengajak Tuhan menghukum saya. Berkali-kali. Saya seperti binatang atau anak hilang yang tidak punya harga diri. Dan tidak hanya mengatakannya sendiri. Ia mengajak orang lain yang tidak tahu menahi, tidak tahu konteks untuk membenci dan memaki. Orang-orang yang bersalah memang seringkali mencari pendukungnya sendiri.

Mengapa saya tidak menanggapi? Saya tidak punya waktu untuk membuat semua orang suka sama saya. Waktu saya terlalu berharga untuk mengurusi hal-hal kecil seperti ini.

I don’t have enough time to explain myself to you, if you want you can add it too.

Dalam beberapa waktu terakhir, saya bekerja keras mengendalikan diri.

Tentu saya tidak selalu seperti itu. Apalagi saya selalu meyakini filosofi hidup leluhur Bugis saya,

“Harga diri saya jauh lebih penting daripada nyawa saya sendiri.”

Namun saya bersyukur setidaknya dalam beberapa kejadian saya berhasil menahan dan mengendalikan diri. Mudah-mudahan akan selalu begitu.

Saya mungkin tidak melawan. Sebab saya menyadari tidak semua kejahatan bisa dibalas dengan marah dan kekerasan. Ini kata Pram dan saya setuju.

Tetapi mereka mungkin lupa: saya mencatat, saya menulis, termasuk saya mencatat namamu!

Penulis:
Arief Balla

Dosen Institut Parahikma Indonesia
Alumni Southern Illinois University Carbondale, Amerika Serikat

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *