Realitas Distorsi dan Degradasi Politik Dalam Masyarakat

Penulis, Jerry Bambuta (Foto: Jerry Bambuta). 

Benturan opini politik dalam rangkaian kontestasi politik adalah hal yg lazim. Karena hal tersebut adalah bagian integral dalam demokrasi. Dinamika politik akan selalu menciptakan poros pro dan kontra atau oposisi dan koalisi. Fenomena tersebut adalah manifestasi logis dari dinamika politik yg banyak kali memunculkan persepsi politik yg heterogen.

Dalam tatanan politik praktis, objektifitas adalah sebuah keniscayaan sebab setiap org akan punya persepsi dan dukungan politik yg subyektif, masing-masing akan menilai berdasarkan asas kemanfaatan bukan objektifitas. Percaya atau tidak, ini sebuah realita praktis yg tidak bisa disangkali.

Saya mengkategorikan volatilitas politik sebagai dinamika tanpa batas karena dalam politik praktis, segala kemungkinan yang bisa diprediksi bahkan di luar prediksi sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, dalam amatan saya pribadi, perjuangan politik harus rasional dan fokus pada kepentingan rakyat dan dalam beberapa ruang analisa dan proyeksi politik kerap kali harus menggunakan pendekatan sains. Sekalipun, dalam diplomasi politik kerap kali menggunakan pendekatan secara filsafat.

Eksakta menerapkan prinsip obyektifitas yang tinggi dan mutlak akurat. Sistem aplikasi eksakta jika berdiri di atas pijakan subyektifitas akan sangat berbahaya. Asumsi subyektif akan berdampak destruktif terhadap sistem aplikasi eksakta. Berbeda dgn politik yang sangat dinamis, mudah berubah dalam hitungan detik karena proses induksi kepentingan politik personal atau kelompok.

Oleh karena itu, seorang figur seharusnya jangan hanya membangun hubungan transaksional dgn rakyatnya. Hubungan ‘barter’ jangka pendek ini hanya memperalat rakyat sebatas sebagai mesin elektoral sesaat. Tapi akhirnya, ketika seorang figur yang berkuasa, ia lupa bahkan sengaja lupa membangun rakyatnya. Politik akan menjadi sangat brutal jika orientasi utamanya adalah untuk berkuasa dan lupa untuk membangun rakyat.

Dalam masyarakat kita, kerap kali konflik opini dan dukungan politik memicu konflik horizontal yg anarkis. Hal ini terjadi, selain karena faktor literasi politik yang dangkal, juga disebabkan oleh euforia politik yg sudah overdosis, bukan lagi proporsional dalam masyarakat yang dijerat dengan ketidak adilan ekonomi.

Overdosisnya euforia politik ini dipicu oleh kesenjangan sosial ekonomi dalam berbagai lapisan stratifikasi sosial yang miris, tidak meratanya keadilan dan kesejahteraan ekonomi dan proses edukasi politik dari para pelaku politik ke masyarakat yang gagal sehingga memicu distorsi dan degradasi politik dalam masyarakat (kemunduran makna politik dan regresifitas kualitas politik).

Politik bukan lagi dipandang sebagai jalan untuk membawa perubahan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat namun menjadi komoditi pragmatis yang terpaksa dimanfaatkan secara ‘oportunis’ oleh masyarakat terhadap kandidat.


Kegagalan fatal para pemimpin rakyat dalam mensejahterakan rakyatnya sudah pasti membuat kebrutalan politik di atas menggila dan sulit untuk dikontrol. Apalagi, jika sebuah daerah gagal menjadi sumber ekonomi bagi rakyatnya, maka momentum politik akan sangat membara bukan hanya karena sengitnya kompetisi politik antar-kandidat tapi juga karena pertempuran pragmatisme demi sesuap nasi.

Efek dominonya akan membuat figur disandera oleh tuntutan pembiayaan politik yg melambung selangit, dimana “biaya politik” akhirnya mengalami obesitas menjadi “politik biaya”. Akibatnya, tidak sedikit para kandidat yang harus menggadaikan diri dalam spekulasi koruptif yang akhirnya menciptakan lingkaran setan korupsi kelak saat berkuasa.

Membahas proyeksi dan gagasan ideal dalam politik kerap kali relatif. Tapi, kita tidak bisa mengabaikan hakikat sejati dari politik itu sendiri. Politik dalam bahasa inggris adalah “Policy”, yang mengandung makna “Kebijakan”. Makna praktisnya, politik adalah perjuangan untuk propaganda dan membahas, mempertahankan visi pro rakyat sehingga ditetapkannya kebijakan publik melalui instrumen kekuasan dan Undang-undang yang bisa memberi manfaat bagi masyarakat.

Jika tidak ada yang berani mengubah patogenitas dari distorsi dan degradasi politik di atas, maka sampai kapan pun, bangsa ini hanya menjadi “Negeri Para Bedebah” yang saling memangsa satu dengan lainnya. Para pemimpin hanya akan jadi predator buas yg dengan teganya mengorbankan kepala banyak orang demi perutnya sendiri ketimbang mengorbankan perutnya untuk perut banyak orang.

Penulis:
Jerry Bambuta
Pembina Forum Literasi Masyarakat Sulawesi Utara. 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *