InfoData, BININTA.com – Di tengah panasnya atmosfer politik dalam perhelatan Pilpres dan Pileg tahun 2019, berita bohong atau hoaks mungkin menjadi kata yang paling populer. Topik seputar hoaks menjadi topik yang paling sering dibicarakan dan disiarkan di media daring, karena hoaks yang sering diterima masyarakat pada tahun 2019.
Dari ribuan hoaks yang diindentifikasi sepanjang tahun 2019, hoaks terkait Sosial Politik menempati urutan pertama.
Bininta.com mengajak pembaca untuk me-review kembali data penyebaran hoaks di Indonesia tahun 2019 berdasarkan survei Masyarakat Telematika (Mastel) Indonesia.
Isi Hoaks yang Sering Diterima Masyarakat
Survei Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Tahun 2019 menemukan bahwa dari banyaknya hoaks yang diterima masyarakat, 93,20 persen, diantaranya adalah hoaks tentang isu Sosial Politik.
Dibandingkan dengan hasil survei tahun 2017, terjadi peningkatan hoaks tentang Sosial Politik sebesar 1,4 persen sedangkan hoaks terkait SARA sebesar 76,20 persen, cenderung menurun dibandingkan dengan tahun 2017 sebesar 88,60 persen.
Di urutan ketiga ada hoaks tentang pemerintahan, yakni sebesar 61,70 persen. Besarnya persentase masyarakat yang menerima hoaks dengan tiga isu ini bertepatan saat pileg dan Pileg sehingga ada kaitannya dengan perhelatan demokrasi tersebut.
Meskipun menurun, persentase hoaks tentang kesehatan menempati urutan keempat, yakni sebesar 40,70 persen, hoaks makanan dan minuman 30 persen, hoaks bencana alam 29, 30 persen. Bahkan ada hoaks tentang berita duka yang diterima masyarakat, yakni sebesar 16,80 persen.
Ragam Bentuk Hoaks yang Sering Diterima
Mastel Indonesia mengidentifikasi bahwa hoaks yang menyebar, dari bentuknya yang sederhana sampai menjadi lebih beragam.
Namun persentase hoaks tertinggi yang diterima masyarakat adalah hoaks dalam bentuk tulisan, yakni sebesar 70 persen.
Selain hoaks dalam bentuk tulisan, berita/foto/atau video lama yang dibumbuhi hoaks menempati urutan kedua dengan persentase sebesar 69,20 persen.
Kemudian foto dengan caption palsu 66,3 persen, foto editan 57,8 persen dan video editan dengan dubbing palsu sebesar 33,2 persen.