Belajar dari Polemik BLT Dana Desa di Masa Pandemi

blt dana desa
Ilustrasi BLT dana desa selama pandemi Covid-19.

Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) merupakan salah satu kebijakan Pemerintah RI melalui Dana Desa guna menanggulangi dampak Covid 19 terhadap pemenuhan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat yang ada di pedesaan. 

Kebijakan pemerintah ini sebenarnya baik karena meringankan beban pengeluaran negara dalam penanganan dampak Covid-19 dengan memanfaatkan alokasi Dana Desa.

Peruntukan dan proses penyaluran BLT pun diatur melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020

Bacaan Lainnya

Pada pasal 1 ayat 28 jelas menyebutkan “Bantuan Langsung Tunai Dana Desa yang selanjutnya disebut BLT-Dana Desa adalah bantuan untuk penduduk miskin yang bersumber dari Dana Desa”.

Kemudian Peraturan Menteri ini menekankan keluarga miskin yang dimaksud, yaitu pada pasal 8A ayat 3. 

“… Keluarga yang kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, belum terdata menerima Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan kartu pra kerja, serta yang mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis”. 

Besaran BLT-pun diatur, yaitu sebesar Rp600.000 untuk setiap penerima.

Bantuan ini sangat penting bagi masyarakat sebab di tengah penyebaran Covid-19, masyarakat dihimbau untuk tinggal di rumah (stay at home) sehingga ruang usaha mereka dibatasi dan ekonomi menjadi lesuh yang berujung pada menurunnya penghasilan.

Di saat yang sama, masyarakat perlu memikirkan pengeluaran harian, yang mungkin tidak terlalu berdampak bagi masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas, namun sangat berdampak bagi masyarakat Kelas Ekonomi Menengah ke bawah dan masyarakat yang dikategorikan ‘miskin’.

Maka, BLT sangat penting untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari selama Pandemi Covid-19 ini berlangsung.

Berdasarkan amanat Permendes ini, implementasi BLT dipercayakan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kampung/Desa, yang kemudian melakukan pendataan masyarakat yang ‘layak’ sebagai penerima. Namun, sejak kebijakan ini dimulai, polemik muncul di seantero negeri, seperti halnya di Provinsi Sulawesi Utara.

Banyak masyarakat yang menganggap bahwa pendataan dan penyaluran Bantuan Langsung Tunai ini tidak tepat sasaran dan kecenderungan oknum pejabat di Desa yang meloloskan kualifikasi penerima hanya karena faktor kekerabatan, seperti tulisan Ronny Serang ‘Balai Lao Tumalada’ di BININTA sebelumnya.

Serang dalam tulisannya ini menggambarkan bagaimana masyarakat sudah sejak awal mempertanyakan kelayakan BLT yang dibumbuhi faktor kekerabatan maupun suka dan tidak suka oleh oknum pejabat di Desa, sehingga berdampak pada masyarakat yang dianggap layak menerima tidak kebagian jatah bantuan.

Idealnya, dalam proses pendataan, Pemerintah Desa dapat lebih akurat untuk menentukan daftar penerima yang layak berdasarkan kategori penerima yang sudah ditetapkan menurut peraturan yang ada. Kesemrawutan ini juga turut memberikan gambaran lemahnya pengawasan oleh Badan Permusyawaratan Desa terhadap kebijakan Pemerintah Desa. 

Penyaluran bantuan ini tentunya juga harus terus dikordinasikan dengan pemerintah daerah agar pemerintah desa tidak otoritatif dan salah langkah, misalnya BLT, yah namanya juga BLT (Bantuan Langsung Tunai) adalah bantuan dalam bentuk uang, bukan bantuan dengan sembako atau barang-barang lainnya. 

Berbagai ketimpangan ini kemudian menjadi polemik di tengah masyarakat. Sejak pendataan penerima BLT, kritikan masyarakat yang layak menerima maupun tidak dapat haknya dan yang masyarakat yang sukarela mengkritisi penentuan penerima BLT, menghiasi berbagai laman media sosial dan polemik ini juga jadi pembicaraan di sudut-sudut desa. Belum lagi ‘meme’ plesetan yang menimbulkan ketegangan namun sedikit jadi hiburan yang kritis.

Pemerintah Pusat pun bereaksi terhadap permasalahan ini dengan melakukan revisi terhadap Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2020 ini dan mengeluarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2020.

Peraturan Menteri yang dikeluarkan di bulan Juni 2020 ini mengatur ulang Pasal 8A ayat 3 terkait peruntukkan BLT dengan menambahkan kategori Penerima Bantuan Sosial Tunai (BST) bukan sebagai penerima BLT Dana Desa.

Selain itu, pada ayat 3a juga diatur bahwa “… keluarga miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak masuk dalam data terpadu kesejahteraan sosial, tetap menerima BLT Dana Desa.”

Kemudian pada ayat 3b pemerintah memasukkan pemutakhiran data terpadu keluarga miskin yang termausk dalam kesejahteraan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Membahas BLT Dana Desa bukanlah topik outdated, karena barangkali ke depannya bisa ada program yang hampir sama dan polemik seperti ini seharusnya tidak terulang. Barangkali Pemerintah Desa melalui Musyawarah Desa juga dapat melakukan evaluasi terhadap kelayakan penerima dan memperhatikan aturan yang berlaku.

Meskipun pembagian BLT sudah berjalan selama beberapa bulan, namun tentu hal ini menjadi pelajaran yang amat berharga bagi pemerintah dan masyarakat agar kedepannya pemerintah Desa lebih jeli lagi dan menekankan keakuratan data penerima, apa adanya dan tanpa embel-embel, dan bagi masyarakat, di era demokrasi dan transparansi ini agar dapat melakukan fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah, karena dalam konsep demokrasi, rakyatlah yang memiliki kedaulatan, dan pemerintah merepresentasi rakyat.

Penulis:

Axel Geovani Sasela
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, UNIMA.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *