|
Ilustrasi Demokrasi. |
PILKADA serentak kali ini cukup menguji sekaligus memberi tantangan tersendiri bagi bangsa ini. Mengapa? Di tengah hiruk pikuknya kompetisi pilkada, kita berada di tengah suasana pandemi COVID-19.
Kerumunan massa yang tidak terkendali dalam tahapan pilkada dikhawatirkan menjadi klaster baru penularan COVID-19. Sekalipun ketentuan protap kesehatan yg di sudah di gariskan dalam PKPU yg mengharuskan adanya “social distancing”, publik yang terlena dengan euforia politik malah cenderung mengabaikan hal tersebut.
Masyarakat awam harus mencegah diri agar tidak terpapar dengan COVID 19, tapi pada waktu yang bersamaan harus lebih kritis sehingga tidak terjebak dalam “STUPID” yang minim literasi.
Akibatnya, masyarakat awam kabur dalam memilah antara asumsi subyektif, fakta obyektif dan hoax provokatif dalam dinamika politik kekinian.
Praktek politik identitas yang tendensinya bersifat destruktif harus dicegah agar tidak merusak tatanan solidaritas kebangsaan dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote.
Perbedaan pandangan, sikap dan dukungan politik harus dipahami sebagai hak asasi “personal” yang harus dihargai. Sedangkan tatanan solidaritas dalam pluralitas harus disadari sebagai aspek yang sifatnya “universal” yg harus kita rawat bersama.
Sebagai warga negara yang matang dalam berdemokrasi, seharusnya cerdas menempatkan aspek “personal” dan “universal” dalam kehidupan berdemokrasi dalam hidup bernegara.
Sekali lagi, pandangan, sikap dan dukungan politik personal harus dipahami dan dihargai sebagai manifestasi logis dalam berdemokrasi. Perbedaan pandangan, sikap dan dukungan politik ini mutlak tidak boleh mencederai realitas universal dimana kehidupan pluralitas berdiam di negara ini.
Oleh karena itu, secara personal, kita wajib menjadi insan yang memiliki dedikasi dan komitmen membumikan pancasila dalam kehidupan personal maupun sosial masyarakat.
Konsep Pancasila bukan sebatas konsumsi retorika dan dialektika yang utopis. Konsep kebangsaan bukan sebatas slogan dan jargon agitatif untuk membakar spirit nasionalisme yang ditunggangi untuk kepentingan pribadi yang oportunistik.
Keterpanggilan membumikan Pancasila merupakan manifestasi natural yang lahir dari kesadaran personal yang sifatnya vertikal (hubungan dgn Tuhan yang maha Esa), dan secara horizontal yang sifatnya sosial dengan sesama.
Oleh karena itu, mengutip perkataan Cak Imin yang yang pernah berkata “Indonesia tidak memisahkan antara agama dan negara seperti dalam sekularisme, tapi Indonesia tidak mencampur agama dalam negara seperti dalam fundamentalisme”.
Indonesia bukan negara mono teokrasi tapi adalah negara demokrasi yang agamis. Indonesia adalah rumah besar di mana pluralitas agama, etnik dan berbagai kelompok sosial hidup berdampingan.
Kekuatan eksistensi kebangsaan kita secara fundamental terletak pada pondasi solidaritas yang dikonstruksi dari pluralitas kebangsaan tersebut. Dan bahan baku yang membangunnya dierat-satukan oleh filosofi “BHINEKA TUNGGAL IKA” yang sudah final tertuang dalam Pancasila.
Dengan adanya pilar kebangsaan yang pakem seperti ini akan menjadi benteng yang kuat menangkal upaya asing melakukan balkanisasi dalam internal negara kita.
Keputusan dalam hidup beragama dan pilihan politik adalah hak paling asasi dalam setiap hidup insan Indonesia. Negara wajib melindunginya dan setiap warga negara wajib saling menghargai.
Empat konsensus kebangsaan yang terdistribusi dalam empat pilar utama, yaitu PANCASILA, UUD 1945, NKRI dan BHINEKA TUNGGAL IKA merupakan filosofi kebangsaan yang mutlak lestari dalam setiap jengkal bumi Nusantara, dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote.
Penulis: Jerry Bambuta
Sekretaris Umum Markas Daerah
Laskar Merah Putih Perjuangan
Sulawesi Utara.