Mengenal Istilah “Koalisi” dalam Politik dan Pemerintahan

koalisi
Ilustrasi koalisi.

LiteraPolitik, BININTA.com – Dalam politik dan pemerintahan, kita pasti pernah mendengar istilah “koalisi”. Salah satu istilah yang populer, terutama menjelang Pemilihan Umum (Pemilu).

Menurut Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti, koalisi merupakan partai atau gabungan partai yang dibentuk dalam periode tertentu untuk tujuan politik bersama (Aisah Putri Budiarti, Mengenal Koalisi dan Oposisi Serta Fungsinya dalam Pemerintahan, Kompas.com, 16 Sept.2019).

Tujuan politik bersama yang dimaksud adalah yang disepakati bersama oleh anggota koalisi partai politik sebelum mulai berkoalisi.

Tapi koalisi itu sifatnya sementara, ketika tujuan politik dan kepentingan kebijakan ke depan sudah tidak lagi sejalan, maka anggota partai koalisi terkadang memutuskan untuk keluar dari koalisi.

Ada beberapa bentuk koalisi menurut National Democratic Institute (NDI) & Oslo Center for Peace and Human Rights, yaitu Electoral Coallition (Koalisi Elektoral), Government Coallition (Koalisi Pemerintahan), Legislative Coallition (Koalisi Legislatif) dan Grand Coallition (Koalisi Besar).

Namun bentuk koalisi ini juga tergantung dari sistem dan struktur politik yang dianut suatu negara.  Dari bentuk koalisi di atas, maka koalisi yang berlaku di Indonesia sebagai negara Republik dengan sistem Presidensial, adalah Koalisi elektoral dan Koalisi Pemerintah.

Koalisi Elektoral, Koalisi Menjelang Pemilu

Koalisi elektoral adalah koalisi yang terbentuk saat menghadapi Pemilu. Dalam konteks Pemilu, koalisi ini dibentuk antara partai politik untuk tujuan politik, yaitu meloloskan dan memenangkan pasangan kandidat yang diusung bersama, baik untuk Pemilihan Presiden maupun Pilkada dan untuk mendapatkan Coattal Effect.

Koalisi untuk Lolos Ambang Batas Pencalonan dan Memenangkan Pasangan Calon yang Diusung

Agar kandidat yang dicalonkan lolos threshold atau ambang batas, terutama saat tidak ada partai yang memiliki suara mayoritas di parlemen yang melampaui ambang batas tersebut, maka gabungan partai politik membentuk koalisi. 

Misalnya, pada Pilpres tahun 2019, terbentuk dua koalisi, yaitu Koalisi Indonesia Maju dan Koalisi Indonesia Adil Makmur.

Koalisi Indonesia Maju mendukung pasangan Jokowi-Maaruf Amin, dengan didukung oleh PDIP (18,95%), Golkar (14,75%), PKB (9,04), Nasdem (6,72%), PPP (6,32%), Hanura (5,26%), sehingga total dukungan berdasarkan perolehan kursi di DPR adalah sebesar 61,04%.

Sedangkan koalisi Indonesia Adil Makmur yang mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno memiliki dukungan perolehan kursi parlemen sebesar 36,38%, yang terdiri dari partai Gerindra (11,81%), Demokrat (10,19%), PAN (7,59%) dan PKS (6,79%).

Dalam konteks Pilkada yang akan berlangsung pada Desember mendatang, berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, ditetapkan Ambang Batas sebesar 20 persen suara partai di DPRD untuk dapat mengusung pasangan calon Kepala Daerah. 

Selain itu, koalisi elektoral juga untuk memenangkan pasangan yang diusung, dimana masing-masing partai anggota koalisi menggerakan mesin partai sampai di grassroot (akar rumput) untuk menambah pundi suara pasangan kandidat yang diusung.   

Koalisi Elektoral untuk Mendapatkan Cottail Effect

Pasangan Kandidat dengan popularitas yang tinggi diharapkan dapat memiliki efek terhadap suara partai pengusung. 

Dengan mencalonkan kandidat tertentu dalam Pemilu, maka partai anggota koalisi mengharapkan Coattail Effect (efek ekor jas) untuk menambah jumlah suara partainya. 

Cottail Effect adalah efek yang didapat dari popularitas calon yang diusung, terutama ketika pemilihan untuk lembaga eksekutif dan legislatif dilakukan secara serempak. 

Misalnya, pada Pilpres 2019, beberapa partai politik yang tergabung dalam koalisi, selain mempersiapkan Pileg, juga terus mengusung nama Jokowi-Maaruf Amin dalam kampanyenya. 

Hal ini dilakukan karena dengan popularitas Jokowi bisa menambah pundi suara masing-masing partai, namun sayangnya, pada Pilpres 2019, Cottail Effect malah terbukti tidak ampuh untuk mendongkrak suara elektoral partai anggota koalisi. 

Koalisi Pemerintah

Menurut Putri Budiarti, koalisi pemerintah dibentuk dalam satu periode pemerintahan untuk mendukung kerja pemerintahan, khususnya dukungan dari dalam parlemen saat pembuatan kebijakan.

Selain itu, koalisi Pemerintah juga terbentuk pasca Pemilihan dengan masuknya representasi partai koalisi dalam kabinet kerja.

Misalnya, pasca Pilpres tahun 2019 yang dimenangkan Pasangan Jokowi-Maaruf Amin, representasi dari partai-partai politik pengusung yang tergabung dalam koalisi, menempati posisi setingkat Kementerian atau Lembaga lainnya dalam pemerintahan.

Koalisi itu tidak permanen, maka lawan politik dalam Pemilu dapat diundang masuk ke dalam koalisi Pemerintah berdasarkan berbagai pertimbangan politik dan untuk memperkuat pemerintahan.

Dalam Pilpres 2019, Partai Gerindra dan beberapa partai lainnya membentuk koalisi Indonesia Adil Makmur, mengusung Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden, namun pasca Pilpres, Prabowo Subianto diundang masuk ke dalam kabinet Jokowi-Maaruf dengan menjabat posisi Menteri Pertahanan.

Hal ini pun sudah biasa dalam dinamika politik di banyak negara di Indonesia, dengan dasar untuk memperkuat pemerintahan yang terpilih.

Untung dan Rugi Berkoalisi

Bagi partai politik yang masuk dalam koalisi memiliki untung dan ruginya. Menurut Putri Budiarti, partai politik yang berkoalisi dalam pemerintahan, lebih mudah untuk terlibat dan mempengaruhi kebijakan. 

Selain itu, Koalisi bagi partai politik juga menguntungkan, terutama saat akan meloloskan kebijakan pemerintah atau Draft Undang-undang yang diusulkan di Parlemen.  

Namun, partai politik memiliki keterbatasan untuk mengkritisi lebih jauh kebijakan-kebijakan Pemerintah karena komitmen dari koalisi. Ditambah lagi, semakin gemuk koalisi, maka check and balances di parlemen tidak dapat berjalan secara proporsional dan oposisi (meskipun Indonesia tidak mengenal istilah oposisi) semakin melemah di parlemen. 

Selain itu, menurut National Democratic Institute (NDI) & Oslo Center for Peace and Human Rights, publik dapat menilai bahwa koalisi yang terbentuk baik untuk pembangunan negara dan kestabilan politik pasca Pemilu, namun di sisi lain proses mencapai kesepakatan internal koalisi juga sangatlah kompleks. 

Demikian Istilah Koalisi Dalam Politik dan Pemerintahan. Semoga dapat bermanfaat untuk menambah khasana pengetahuan politik pembaca. (Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *